Likuiditas perbankan mengetat seiring akan berakhirnya periode pertama program pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) bulan September ini. Sebab, banyak peserta program tersebut yang mencairkan uang di bank untuk membayar tebusan tax amnesty. Bank Indonesia (BI) pun turun tangan untuk melonggarkan likuiditas.
Bank sentral telah melakukan injeksi dana sekitar Rp 35 triliun kepada perbankan, Selasa (27/9) kemarin. Injeksi tersebut dilakukan melalui lelang surat berharga berjangka pendek, yaitu Term Repo 7 hari dan Foreign Exchange (FX) Swap 1 bulan. Tujuannya untuk melonggarkan likuiditas bank dan Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
Injeksi likuiditas kali ini tercatat cukup besar. Secara rinci, nominal Term Repo 7 hari yang dimenangkan bank sebesar Rp 32,95 triliun dan Forex Swap sebesar US$ 230 juta atau sekitar Rp 2,97 triliun. Sebagai perbandingan, dalam lelang Term Repo sebelumnya, nominal yang dimenangkan hanya Rp 22,81 triliun. Sementara pada Desember 2015, jumlahnya lebih sedikit yakni Rp 6,83 triliun.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, likuiditas perbankan secara keseluruhan saat ini mencukupi. Tapi, bank-bank perlu mengantisipasi kebutuhan likuiditas ke depan. “Ini sebagai komitmen BI untuk memastikan kondisi likuiditas di perbankan dan pasar uang longgar,” katanya kepada Katadata, Rabu (28/9).
Menurut Perry, bank saat ini membutuhkan likuiditas untuk memenuhi komitmen penyaluran kredit. Selain itu, mencukupi kebutuhan nasabah terkait tax amnesty. (Baca juga: Perbankan Sulit Turunkan Bunga Kredit Terkendala Likuiditas Ketat)
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengungkapkan, kebutuhan likuiditas perbankan meningkat belakangan ini. Salah satu sebab utamanya adalah kebutuhan nasabah untuk membayar uang tebusan tax amnesty.
Namun, ia menilai, injeksi likuiditas dari BI tersebut sebagai operasi moneter biasa. "Ada sedikit pengaruh dari pembayaran uang tebusan (saat ini sudah lebih dari Rp 70 triliun)," kata David. Karena itu, dia meminta pemerintah harus mempercepat belanja agar dana tebusan tidak tertahan lama di kas negara.
Menanggapi besarnya kebutuhan likuiditas bank, Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. “BI pasti akan menjaga kecukupan likuiditas rupiah di sistem perbankan. Jangan khawatir,” kata dia. (Baca juga: Banjir Obligasi Negara, Pemerintah Perlu Waspadai Rebutan Dana Publik)
Setelah BI turun tangan, likuiditas perbankan tampaknya kembali melonggar. Hal itu terlihat dari pergerakan suku bunga PUAB. “Suku bunganya sudah normal kembali setelah BI tambah likuiditas ke pasar kemarin,” kata Mirza.
Tingginya kebutuhan likuiditas bank memang sempat membuat suku bunga PUAB naik. Mengacu pada data Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR), suku bunga PUAB overnight, Selasa (27/9) kemarin, mencapai 5,38 persen. Padahal, sehari sebelumnya suku bunga masih berada di level 4,78 persen.
Lonjakan juga tampak pada suku bunga PUAB tenor satu minggu yang naik ke level 5,5 persen, dari sehari sebelumnya 5,27 persen. Rabu ini, suku bunga PUAB overnight kembali turun ke level 4,96 persen dan tenor satu minggu 5,35 persen.
Mengacu pada tinjauan kebijakan moneter BI yang dirilis pada September ini, kenaikan suku bunga PUAB telah terjadi sejak Agustus lalu. Saat itu, rata-rata tertimbang suku bunga PUAB overnight tercatat sebesar 4,69 persen atau sedikit meningkat dari 4,62 persen pada bulan sebelumnya.
Meski suku bunga PUAB sedikit meningkat, kondisi likuiditas harian perbankan secara umum diklaim masih tinggi. Hal itu tampak dari terjaganya likuiditas PUAB meski transaksi pinjam meminjam antarbank meningkat.
Volume rata-rata PUAB pada Agustus lalu meningkat menjadi Rp 12,71 triliun dari Rp 9,60 triliun pada bulan sebelumnya. Volume rata-rata PUAB overnight juga naik menjadi Rp 8,36 triliun dari sebelumnya Rp 5,14 triliun. Kenaikan volume juga disebut-sebut terjadi untuk tenor yang lebih panjang.