Tunggu Aturan Baru, Pengusaha Usul Perpu Perpanjangan Tax Amnesty

Arief Kamaludin|KATADATA
Antusiasme pengunjung acara sosialisasi amnesti pajak di Jakarta.
24/8/2016, 12.28 WIB

Kalangan pengusaha mengakui belum mengikuti program pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) karena masih membutuhkan waktu untuk mempelajarinya dan menunggu tambahan aturan baru dari pemerintah. Selain itu, pengusaha mengusulkan perpanjangan waktu pelaksanaan program tersebut yang direncanakan rampung akhir Maret tahun depan. 

Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Chris Kanter mengungkapkan, para wajib pajak masih membutuhkan sosialisasi dari pemerintah untuk memahami seluk-beluk program amnesti pajak yang baru berjalan efektif sejak 18 Juli lalu.

Sementara itu, peraturan teknis yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru terbit ketika program itu mulai berjalan. Saat ini, pemerintah telah merilis empat PMK, yaitu PMK No. 118/2016 tentang pelaksanaan UU Pengampunan Pajak dan PMK 119/2016 tentang tentang tata cara repatriasi dana dan penempatannya pada instrumen investasi di pasar keuangan. Selain itu, PMK 122 tentang tata cara repatriasi dana dan investasinya di luar pasar keuangan serta PMK 123 yang merevisi PMK 119.

Namun, menurut Chris, aturan itu masih belum cukup. “Banyak pemilik aset besar butuh aturan-aturan lain," katanya kepada Katadata, Selasa (23/8). Salah satunya adalah peraturan mengenai perusahaan cangkang (special purpose vehicle / SPV). (Baca: Sri Mulyani: Jumlah Besar Dana Tax Amnesty Akan Masuk September)

Ia menjelaskan, banyak wajib pajak beraset besar yang memiliki perusahaan cangkang di luar negeri . Beberapa di antaranya tertera dalam dokumen rahasia "Panama Papers" milik perusahaan jasa keuangan Mossack Fonseca yang bocor beberapa waktu lalu. Jika peraturan teknis itu terbit, menurut Chris, para pengusaha bisa mempelajarinya sehingga bersedia mengikuti program pengampunan pajak.

Pada Jumat (19/8) pekan lalu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, pemerintah tengah menggodok PMK bagi perusahaan cangkang agar memudahkan para wajib pajak mendeklarasikan sekaligus repatriasi hartanya. Aturan itu direncanakan akan terbit dalam satu hingga dua minggu ke depan.

Menurut Robert, struktur pembentukan SPV milik warga Indonesia ini beragam. Misalnya, ada yang menggunakan nomine satu lapis atau atas nama satu pihak dan bisa langsung balik nama. Namun, ada pula yang menerapkan sistem nomine berlapis-lapis. Alhasil, sulit menutup perusahaan cangkang tersebut untuk kemudian hartanya dibawa masuk ke Indonesia.

Melihat kondisi tersebut, Chris mengusulkan perpanjangan waktu pelaksanaan pengampunan pajak, khususnya periode triwulan pertama yang menawarkan tarif tebusan rendah dan rampung pada akhir September nanti. “Bagusnya ditambah dua bulan lagi tahap pertama, sampai November,” kata dia.

(Baca: Pemerintah Godok Aturan Tax Amnesty untuk Perusahaan Cangkang)

Apalagi, menurut dia, beberapa peraturan pelaksana baru rampung Agustus ini dan membutuhkan waktu sosialisasi. Contohnya, PMK tentang pengalihan dana repatriasi ke instrumen sektor riil, seperti tanah, bangunan dan emas.

Selain itu, pemilik aset besar butuh waktu untuk mencairkan dananya yang ditempatkan di instrumen-instrumen investasi di luar negeri. “Prosesnya tidak sebentar,” ucap Chris. Jadi, dia memperkirakan, jika periode pertama tax amnesty hanya sampai akhir September maka pemerintah akan kesulitan memperoleh jumlah signifikan dari program itu.

Persoalannya, periodesasi amnesti pajak yang terbagi dalam tiga triwulan itu sudah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2016 yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pad akhir JUni lalu. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku siap membuat peraturan pelaksanaan amnesti pajak, namun tidak bisa jika diminta mengubah UU.

“Kalau Anda minta PMK diubah, saya confident. Tapi tidak bisa setiap menit saya ganti. Yang tidak bisa saya ganti adalah undang-undang yang sudah diketok (DPR),” katanya.

Karena itulah, Chris menyarankan, pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perpu). Tujuannya agar dapat memperpanjang masa pemberlakuan amnesti pajak. (Baca: Tebusan Tax Amnesty Minim, Dirjen Pajak Tunggu Wajib Pajak Kakap)

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Texation Analysis (CITA) Jakarta, Yustinus Prastowo, menandang usulan perpu itu dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Meskipun dia pesimistis perpanjangan masa tax amnesty bakal meningkatkan peroleh dana. “Setidaknya akan lebih baik (dengan perpu)."

Berdasarkan situs Ditjen Pajak, hingga Selasa (23/8), jumlah harta dalam program amnesti pajak mencapai Rp 53,1 triliun. Jumlah itu terdiri atas deklarasi harta, baik di dalam dan luar negeri, sebesar Rp 51,4 triliun dan repatriasi harta Rp 1,71 triliun. Padahal, pemerintah menargetkan deklarasi dan repatriasi dana dari hasil amnesti pajak masing-masing sebesar Rp 4.000 triliun dan Rp 1.000 triliun.

Alhasil, penerimaan negara dari dana tebusan kebijakan tersebut saat ini baru sebesar Rp 1,06 triliun. Jumlahnya baru 0,6 persen dari target penerimaan negara dari program tersebut pada tahun ini sebesar Rp 165 triliun.

Reporter: Desy Setyowati