Beban Bunga Membengkak, Pemerintah Kaji Surat Utang Bebas Pajak

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
17/5/2016, 20.49 WIB

Kementerian Keuangan tengah mengkaji rencana penghapusan pajak bunga Surat Berharga Negara (SBN). Pertimbangannya, beban bunga SBN yang harus dibayarkan pemerintah kepada para investor terus membengkak ketimbang pendapatan pajak yang diperoleh dari surat utang tersebut.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan, ada sejumlah investor meminta imbal hasil (yield) tinggi saat lelang surat utang yang diterbitkan pemerintah. Strategi itu diikuti oleh banyak investor lainnya, sehingga membentuk harga pasar yang tinggi atas SBN tersebut.

Alhasil, pemerintah terpaksa mengabulkan permintaan harga tinggi dari para investor agar SBN itu laku terjual. Dampaknya, beban bunga yang harus ditanggung pemerintah semakin besar. Nilainya bisa jadi lebih besar dibandingkan pendapatan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) atas bunga atau diskonto surat utang itu.

“Misalnya tanpa withholding tax (pungutan pajak), mungkin investor minta (yield) tujuh persen. Kalau dengan pajak mintanya 7,2 persen. Kalau ramai-ramai kan bisa terbentuk harga di pasar menjadi 7,2 persen. Itu pemerintah tidak untung,” kata Robert di sela-sela acara Islamic Development Bank (IDB) di Jakarta, Selasa (17/5).

Karena itulah, Kementerian Keuangan mengkaji besaran pengaruh penghapusan pajak SBN terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan. Lalu, bakal dibandingkan dengan dampak kenaikan beban bunga yang harus dibayarkan pemerintah.

(Baca: JK Dorong Pemangkasan Bunga Deposito agar Obligasi Menarik)

“Kami sedang kaji datanya, instrumen (SBN) mana yang behaviour (investor) sama (meminta yield tinggi). Tidak banyak juga instrumen yang tanpa pajak, seperti obligasi global,” ujar dia. Sebagai gambaran, pemerintah menganggarkan pembiayaan bunga utang tahun ini sebesar Rp 184,9 triliun. Nilainya meningkat dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 155,7 triliun.

Halaman: