PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) buka suara terkait dengan rencana pemerintah untuk melakukan hapus tagih dan hapus buku kredit macet di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). BRI mengatakan rencana hapus tagih kredit macet tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan namun tetap memiliki risiko moral hazard.
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Sunarso mengatakan, dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor (UUPPSK), disebutkan bahwa hapus tagih kredit bisa dilakukan jika nilai pinjamannya di bawah Rp 5 miliar.
Sebagaimana diketahui, UUPPSK membolehkan bank menghapus buku dan menghapus tagih kredit macet untuk mendukung kelancaran penyaluran kredit ke UMKM. UU tersebut juga menjelaskan hapus buku dan hapus tagih hanya bisa dilakukan jika kredit tersebut sudah direkstrukturisasi dan ditagih dengan upaya optimal tetapi tidak juga terbayar.
"Tagihan itu juga tidak dimasukkan sebagai piutang negara, tapi kemudian bagaimana implementasinya. Yang paling dikhawatirkan timbulnya moral hazard," kata Sunarso, dalam konferensi pers laporan kinerja keuangan BRI semester pertama 2023, Rabu (30/8).
Dikutip dari laman Investopedia, moral hazard adalah risiko bahwa suatu pihak belum menandatangani kontrak dengan itikad baik atau telah memberikan informasi yang menyesatkan tentang aset, kewajiban, atau kapasitas kreditnya.
Untuk itu, kata dia, penyusunan kriteria nasabah yang diperbolehkan hapus tagih kredit masih dilakukan untuk menghindari moral hazard. Selain itu, menurutnya, perlu dibuat aturan lanjutan terkait hapus tagih kredit agar merata untuk semua perbankan, termasuk bagi bank-bank swasta.
"Bagi BRI ada ketentuan boleh hapus tagih atau tidak, itu tidak berpengaruh. Kalau sudah tidak bisa kami tagih mau diapakan," jelasnya.
Apalagi ada konsekuensi bagi nasabah tersebut yaitu tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kredit baru. Maka, kata Sunarso, ketentuan hapus tagih nantinya akan memberi kesempatan kepada nasabah yang mungkin sudah macet dalam membayar tagihan, misalnya karena bencana, nama nasabah itu bisa dipulihkan. Setelah dipulihkan atau diputihkan dapat kesempatan untuk mendapat kredit lagi.
Untuk diketahui, hingga triwulan kedua 2023, perusahaan menyalurkan kredit dan pembiayaan senilai Rp1.202,13 triliun dengan penopang utama pertumbuhan yakni pada segmen mikro yang tumbuh 11,41% yoy menjadi Rp 577,94 triliun. Dengan demikian, porsi kredit mikro telah mencapai 48,08% terhadap total penyaluran kredit BRI.
Penyaluran kredit mikro yang tumbuh double digit membuat proporsi kredit UMKM BRI juga terus meningkat. Hingga akhir semester pertama, sebesar 84,48% dari total kredit BRI atau senilai Rp1.015,54 triliun merupakan kredit yang disalurkan kepada segmen UMKM.
Dari sisi risiko kredit yang bermasalah atau non performing loan (NPL BRI) pada akhir triwulan kedua 2023 tercatat sebesar 2,95% atau membaik apabila dibandingkan periode sama tahun sebelumnya 3,26%.