Tugas Berat Dirkeu Baru Garuda: Negosiasi Kewajiban Tuntas Tahun Ini

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.
Pilot berada di ruang kemudi pesawat Garuda Indonesia Airbus A330-900neo bercorak khusus yang menampilkan visual masker pada bagian moncong pesawat di Hanggar GMF AeroAsia Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (1/10/2020). Pemberian gambar masker pada pesawat merupakan dukungan Garuda Indonesia terhadap program edukasi pemerintah melalui kampanye 'Ayo Pakai Masker'.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
20/11/2020, 16.23 WIB

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengganti Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, dari yang dijabat Fuad Rizal kepada Prasetio. Keputusan itu diambil dalam Rapat Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Jumat (20/11).

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan Prasetio memiliki tugas berat yang harus dicapai sebelum akhir tahun ini, yaitu finalisasi negosiasi beberapa kewajiban dengan lessor dan perbankan. Negosiasi ini sudah dilakukan oleh pendahulunya, Fuad Rizal, karena pandemi Covid-19.

"Jadi tugas Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko yang baru memastikan (negosiasi) itu terjadi sebelum akhir tahun ini. Ini tugas berat karena dilakukan dengan lessor dan perbankan," kata Irfan dalam konferensi pers secara virtual usai RUPSLB.

Garuda Indonesia tengah berupaya menurunkan biaya sewa (leasing) pesawat melalui negosiasi dengan lessor dan penundaan pengiriman pesawat yang sudah dipesan. Hal ini ditulis dalam laporan keuangan triwulan III 2020.

Maskapai milik pemerintah itu menerima surat pembatasan terbang dari beberapa lessor karena belum memenuhi kewajiban atas pembayaran sewa dan perawatan pesawat.

Atas surat dari lessor tersebut, Garuda Indonesia pun melakukan grounded atau tidak mengoperasikan pesawatnya. Untuk dapat kembali mengoperasikan pesawat, maskapai perlu melakukan negosiasi dengan pihak lessor dan sudah mendapatkan persetujuan penangguhan dan pembayaran biaya sewa dan pencadangan perawatan dari beberapa lessor.

Negosiasi juga dilakukan dengan kreditur untuk relaksasi pembayaran. Manajemen Garuda Indonesia menilai, kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan menghadapi tantangan eksternal, bergantung pada kemampuan menghasilkan arus kas yang cukup.

Dengan kemampuan arus kas yang cukup, membuat Garuda Indonesia bisa membayar liabilitas secara tepat waktu dan mematuhi perjanjian kredit. Selain itu, arus kas dibutuhkan untuk kemampuan Garuda Indonesia memperbaiki operasi, kinerja, dan posisi keuangannya.

Irfan berharap dengan perubahan posisi Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, Prasetio bisa meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh Fuad Rizal dengan baik. "Pak Prasetio ini punya segudang pengalaman, baik sebagai bankir maupun latar belakang hukum," kata Irfan menambahkan.

Prasetio memang tidak asing dengan dunia perbankan karena pernah menjabat sebagai Direktur PT Bank Danamon Indonesia Tbk pada periode 2002-2004. Latar belakang di bidang hukum, didapatkan Prasetio dengan gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada pada 2013.

Pengalaman kerja lainnya, Prasetio pernah menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) periode 2012-2017. Ia pun pernah menjabat sebagai Direktur PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk pada 2007-2012 dan Direktur Keuangan PT Merpati Nusantara Airlines pada 2004-2005.

"Dengan network yang luas, tentu saja kami berharap dengan pergantian direksi ini, bisa meneruskan apa yang sudah baik dikerjakan oleh Pak Fuad," kata Irfan.

Pandemi Covid-19 membuat kinerja Garuda Indonesia makin terpuruk. Maskapai penerbangan milik pemerintah tersebut harus menanggung kerugian senilai US$ 1,07 miliar atau setara Rp 15,34 triliun hingga triwulan ketiga 2020 (asumsi kurs: Rp 14.280 per dolar).

Berdasarkan laporan keuangan Garuda yang dirilis melalui keterbukaan informasi, Kamis (5/11), kinerja kuartal ketiga 2020 berbanding terbalik dengan raihan profit periode yang sama tahun lalu. Garuda mampu meraih laba bersih US$ 122,42 juta atau Rp 1,74 triliun pada triwulan ketiga 2019.

Penurunan kinerja tersebut disebabkan pendapatan usaha Garuda yang anjlok. Hingga akhir September 2020, Garuda hanya mampu mengantongi pendapatan senilai US$ 1,13 miliar, turun hingga 67,85% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu senilai US$ 3,54 miliar.

Tak hanya profitabilitas yang buruk, total liabilitas Garuda per akhir September 2020 pun mengalami kenaikan menjadi US$ 10,36 miliar, dibandingkan US$ 3,73 miliar pada akhir Desember 2019. Kenaikan paling besar terjadi pada liabilitas jangka panjang, dari US$ 477,21 juta menjadi US$ 5,66 miliar. Sementara, total liabilitas jangka pendek naik dari US$ 3,25 miliar menjadi US$ 4,69 miliar.

Dari sisi aset, Garuda mencatatkan total aset senilai US$ 9,9 miliar per akhir September 2020, angkanya naik dari akhir Desember 2019 yang senilai US$ 4,45 miliar. Kenaikan ini berasal dari total aset tidak lancar yang senilai US$ 9,19 miliar, naik dari US$ 3,32 miliar. Padahal, aset lancar garuda tergerus menjadi US$ 714,33 juta dari US$ 1,13 miliar.