Dampak dan Risiko Defisit Anggaran hingga 5,07% untuk Atasi Corona

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Seorang pria melintasi deretan toko yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Rabu (1/4/2020). Pemerintah melakukan relaksasi defisit anggaran dalam APBN sebesar 5% dari PDB untuk mengatasi virus corona.
Penulis: Sorta Tobing
1/4/2020, 19.34 WIB

Melansir Kompas.com, faktor penyebab defisit bisa karena daya beli masyarakat yang rendah. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah biasanya akan menggenjot subsidi agar warga dapat memenuhi kebutuhannya.

Melemahnya nilai tukar uang juga memicu defisit. Pasalnya, banyak pinjaman luar negeri memakai valuta asing. Sementara, pembayaran utang dihitung memakai rupiah. Jika rupiah nilainya anjlok, maka semakin besar pula utang Indonesia.

Defisit juga terjadi ketika pemerintah memutuskan untuk berinvestasi besar dalam pembangunan. Tujuan akhirnya tentu saja untuk peningkatan kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Namun, jika hasil pembangunan tak sebanding dengan pemasukan, maka kas negara pun kering.

(Baca: Ada PP, Keppres, & Perppu untuk Atasi Corona, Bagaimana Pengaturannya?)

Inflasi tinggi juga memicu defisit. Ketika keadaan ini terjadi maka beban biaya pemerintah pun meningkatkan.

Terakhir, tentu saja keadaan darurat atau krisis ekonomi seperti pandemi corona sekarang. Pemerintah memerlukan dana besar untuk fasilitas kesehatan dan membantu ekonomi masyarakat agar tidak semakin terpuruk.

Bantuan alat pelindung diri (APD) untuk mengatasi virus corona tiba di Kendari, Sulawesi Tenggara. (ANTARA FOTO/Jojon/pras.)

Cara Atasi Defisit Anggaran

Para ekonom cenderung menghitung defisit anggaran dari rasio PDB. Melansir dari publikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), metode penghitungan ini bertujuan untuk menunjukkan berapa persen suatu negara dapat menghimpun dana dalam rangka menutup defisit itu.

Negara yang ingin memperbaiki defisit anggarannya dapat melakukannya dengan cara penghematan belanja dan meningkatkan pendapatan. Cara penghematannya, seperti penghentian program yang tidak efektif, pemangkasan biaya operasional dan rutin lainnya, serta pemotongan subsidi.

Dari sisi pendapatan, yang bisa digenjot tentu saja dari pajak. Bisa pula dengan cara melakukan pinjaman dan mengeluarkan surat utang (obligasi).

(Baca: BI & Pemerintah Antisipasi Kondisi Terburuk Kurs Rupiah 20.000 per US$)

Dampak Defisit Anggaran

Masih dari publikasi Bappenas, defisit anggaran itu seperti penyakit darah tinggi. Kalau tidak ditangani dengan baik efeknya bisa menjalar ke mana-mana, seperti jantung, ginjal, otak, serta kelumpuhan.

Defisit anggaran pun dapat mengacaukan variabel ekonomi makro. Dampaknya bisa ke tingkat bunga, neraca pembayaran, inflasi, konsumsi dan tabungan, tingkat pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi.

Penjelasan sederhananya adalah keadaan defisit berarti kurangnya pembiayaan negara. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, pemerintah memerlukan penambahan modal. Artinya, permintaan terhadap uang meningkat dan berimbas pada tingkat bunga yang naik.

(Baca: Pernyataan Lengkap Jokowi soal Perppu Penyelamatan Ekonomi dari Corona)

Dari sini lalu neraca pembayaran pun naik karena tingkat bunga yang turut terkerek. Nilai tukar dalam negeri akan turun. Imbasnya adalah ke dunia usaha. Kalau gairah investasi melemah, imbasnya adalah tingkat pengangguran akan naik.

Di sisi lain harga-harga akan cenderung naik karena negara ekspansif mengeluarkan uang. Defisit anggaran dapat mengurangi pendapatan riil masyarakat. Akibatnya, tingkat konsumsi dan tabungan pun juga melemah. Semua itu membuat perekonomian sulit tumbuh tinggi.

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin, Agatha Olivia Victoria