Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah akan mengejar pajak atas raksasa teknologi dunia seperti Google, Facebook, dan Amazon. Namun, Pengamat pajak Yustinus Prastowo menanggapi bahwa pengejaran pajak ini akan sulit jika konsensus global belum bisa dicapai.
Menurut dia, saat ini seluruh negara masih memiliki keleluasaan dalam menentukan skema perpajakan masing-masing. Jika pemerintah memang akan mengejar pajak dari Google Cs, ia menyarankan agar mempertimbangkannya dengan matang.
"Bisa saja dikejar, tapi belum tercapainya konsensus global akan menjadi problem," ujarnya saat dihubungi katadata.co.id, Jumat (14/6).
Setidaknya, ada dua pilar yang menjadi opsi konsensus. Pilar pertama yaitu merevisi nexus dan aturan profit allocation yang ada. Dalam pilar pertama ini terdapat tiga proposal yang diajukan yakni user participation, marketing intangible dan significant economic presence.
(Baca: Di G20, Sri Mulyani Ungkap Cara Tagih Pajak Google hingga Facebook)
Sri Mulyani sebelumnya ingin menetapkan pajak Google Cs dari volume transaksi. Adapun Yustinus berpendapat, pemerintah bisa memilih untuk menggunakan significant economic presence atau user participation. Namun, kedua pilihan ini mempunyai permasalahan ring fencing yang menyebabkan pengklasteran.
Adapun ring-fencing sendiri tak sesuai dengan konsep ekonomi digital yang dinamis. Otoritas harus mendefinisikan dan menjabarkan secara rutin entitas mana saja yang masuk ke dalam perusahaan digital. The Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) secara tegas menolak adanya ring-fencing.
Maka dari itu, Yustinus menyarankan pemerintah menerapkan opsi marketing intangible yang tidak melakukan ring-fencing. "Kalau marketing intangible akan lebih fair dan bisa diterapkan karena lebih masuk akal," ujarnya.
Sedangkan pilar kedua menggunakan pajak minimum untuk mengatasi global base erosion. Ada dua proposal yang diajukan dalam pilar kedua yaitu global intangible low-taxed income dan income inclusion rules.
(Baca: Kalahkan Apple dan Google, Amazon Merek Paling Bernilai di Dunia)
Namun, permasalahan yang akan dihadapi jika pemerintah menerapkan sendiri opsi yang ada saat belum adanya konsensus global, akan terjadi ketidakpastian baru. Selain itu, jika memakai cara konvensional pemerintah akan menghadapi masalah terkait bentuk usahanya.
"Tidak adanya physical present akan menyulitkan penetapan pajak. Maka dari itu BUT nya harus dirubah menjadi virtual present, nah ini yang sulit karna harus ada proses legislasi di DPR," ujar Yustinus.
Kepentingan yang harus dipertimbangkan bukan hanya semata-mata penerimaan pajak, pemerintah harus turut mempertimbangkan investasi yang masuk serta daya tarik. Yustinus sepakat bahwa siapapun wajib membayar pajak, namun jika aturan belum tersedia diperlukan kepala dingin agar tidak terjadi sengketa.
"Jangan sampai hanya karna ingin mengejar penerimaan pajak, perusahaan asing tersebut tidak mau lagi berbisnis di Indonesia. Hal ini tentunya akan merugikan pemerintah secara makro," pungkasnya.
(Baca: Aturan BUT Dinilai Tak Bisa Menangkap Potensi Pajak Google)