Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018. Namun, BPK tetap memberikan catatan penting, terutama mengenai target-target yang tak tercapai dan kenaikan utang pemerintah.
"Catatan ini perlu menjadi perhatian DPR dan pemerintah," kata Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara pada Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta (28/5).
Pertama, pemerintah tidak dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4%. Realisasinya hanya 5,17%. Selain itu, lifting minyak hanya mencapai 778 ribu barel per hari dari target 800 ribu barel per hari dan lifting gas hanya mencapai 1.145 ribu barel per hari dari target 1.200 ribu barel per hari.
BPK juga mencatat peningkatan rasio utang pemerintah pusat. "Rasio utang terus meningkat sejak 2015, meskipun masih dibawah ambang batas 60% dari PDB," ujar Moermahadi.
Tercatat peningkatan rasio utang dimulai sejak 2015 - 2017. Pada 2015 rasio utang sebesar 27,4%, lalu 2016 sebesar 28,3% dan 2017 sebesar 29,93%. Tahun lalu rasio utang menurun menjadi 29,81%.
(Baca: Ketiga Kalinya, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Raih Opini WTP)
Peningkatan rasio utang tidak terlepas dari realisasi pembiayaan utang dari 2015-2018. Rincian realisasi pembiayaan utang yakni sebesar Rp 380 triliun pada 2015, Rp 403 triliun pada 2016, Rp 429 triliun pada 2017 dan Rp 307 triliun pada 2018. "Nilai pokok atas utang pemerintah tercatat Rp 4.466 triliun sampai 31 Desember 2018," ujar Moermahadi.
Nilai pokok atas utang pemerintah tersebut terdiri atas utang luar negeri sebesar Rp 2.655 triliun atau mencapai 59% dari porsi utang. Sisanya adalah utang dalam negeri sebesar Rp 1.811 triliun.
Terakhir, Moermahadi menyebutkan realisasi belanja subsidi 2018 sebesar Rp 216 triliun melebihi pagu anggaran yang ditetapkan APBN yang sebesar Rp 156 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 50 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.
Hal tersebut terjadi karena pembayaran utang subsidi tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar Rp 25 triliun, realisasi nilai ICP tahun 2018 sebesar USD$ 67,5 per barrel lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN sebesar USD$ 48 per barel, dan realisasi nilai tukar sebesar Rp 14.247 per dolar AS atau lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN yakni Rp 13.400 per dolar AS.
Selain hal tersebut, Moermahadi melaporkan adanya penetapan harga jual bahan bakar minyak dan listrik oleh pemerintah dibawah harga keekonomisan. "Karena itu, perlu adanya pembahasan skema pengelolaan keuangan dan pelaporan pertanggungjawaban atas penetapan harga jual tersebut oleh pemerintah dan DPR," katanya.
(Baca: BPK: Tambahan Subsidi Listrik Rp 5,2 Triliun Tahun Lalu Bermasalah)