Harga komoditas sumber daya alam (SDA) utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit dan karet masih tertekan. Kondisi ini mengancam pertumbuhan ekonomi daerah penghasil komoditas yang dimaksud seperti Sulawesi, dan Kalimantan. Para ekonom pun menekankan perlunya strategi jangka pendek dan panjang untuk menopang ekonomi daerah-daerah tersebut.
Sebelumnya, ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyoroti pentingnya dukungan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di daerah-daerah tersebut. “Antisipasi kebijakan untuk daya beli mereka terjaga, itu penting,” kata dia, beberapa waktu lalu. Maka itu, ia menilai tepat langkah pemerintah menambah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).
Di luar itu, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai perlunya upaya untuk meningkatkan nilai tambah berbagai komoditas, bukan hanya yang mengalami kejatuhan harga. Dengan begitu, daerah tidak hanya bergantung pada penjualan produk mentah yang harganya rentan naik turun.
(Baca: Harga Komoditas Jatuh, Pendapatan Petani Perkebunan Melemah)
Mengacu pada tradingeconomics.com, harga minyak sawit sempat mengalami tren naik pada 2016 sebelum berbalik turun mulai awal 2017 hingga 2018 lalu. Saat berita ini ditulis, Senin (11/2), minyak sawit tercatat turun 12,94% secara tahunan.
Harga karet juga tercatat mengalami tren penurunan mulai pertengahan 2017 hingga 2018 lalu, meski kemudian sedikit membaik pada awal tahun ini. Pada Senin (11/2), harga karet tercatat naik 4,4% secara tahunan. Namun, harganya masih jauh di bawah 2017 lalu.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir Sulawesi dan Kalimantan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2018 lalu. Ekonomi Kalimantan tumbuh 4,34% pada 2017, namun melambat menjadi 3,91% pada 2018. Sedangkan ekonomi Sulawesi tumbuh 6,96% pada 2017, kemudian melambat menjadi 6,65% pada 2018.
(Baca: Kinerja Ekspor Lemah, Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Tertinggi 5,17%)
Sejauh ini, Rusli menilai upaya peningkatan nilai tambah komoditas belum maksimal. Meskipun, ada beberapa daerah yang telah fokus pada hal itu. Ia mencontohkan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Bengkulu yang mengembangkan produk perkebunan rakyat menggunakan dana desa. Adapun produk yang dihasilkan dijual di dalam negeri.
Adapun optimalisasi pasar dalam negeri dinilainya penting, selain pengembangan pasar luar negeri. Dengan demikian, penjualan produk tidak terlalu bergantung kepada kondisi global. Menurut dia, konsumsi rumah tangga yang terjaga menunjukkan permintaan komoditas dalam negeri tetap tumbuh.
Ia pun menyebut beberapa komoditas yang memiliki permintaan tinggi di dalam negeri seperti kopi, olahan karet, hingga kelapa sawit untuk menunjang program biodiesel 20% (B20).
(Baca: Laju Ekonomi Bali dan Nusa Tenggara Melemah, Maluku dan Papua Menguat)
Upaya pengembangan produk bernilai tambah dan optimalisasi pasar dalam negeri disebutnya akan berdampak ke ekonomi daerah dalam jangka panjang, yaitu 5-10 tahun bila dilakukan secara konsisten. "Tidak bisa langsung 2-3 tahun," ujar.
Pulau | 2016 | 2017 | 2018 | Kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2018 |
Sumatera | 4,29 | 4,3 | 4,54 | 21,58% |
Jawa | 5,59 | 5,61 | 5,72 | 58,48% |
Bali dan Nusa Tenggara | 5,89 | 3,73 | 2,68 | 3,05% |
Kalimantan | 2,01 | 4,33 | 3,91 | 8,20% |
Sulawesi | 7,42 | 6,99 | 6,65 | 6,22% |
Maluku dan Papua | 7,45 | 4,89 | 6,99 | 2,47% |
Sumber: BPS (Diolah)