Nilai tukar rupiah menguat hingga kembali mendekati level 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS) mulai Jumat (25/1) pekan lalu. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut sederet kebijakan domestik turut menyokong rupiah, termasuk kebijakan di bidang ekspor-impor yang bertujuan memperbaiki neraca dagang sehingga pasokan dan permintaan valuta asing (valas) lebih seimbang.
Perry menyinggung kebijakan terbaru pemerintah tentang pengurangan hambatan lartas (larangan terbatas) dan komoditas yang wajib menyertakan Laporan Surveyor (LS). Kebijakan ini untuk memperlancar ekspor. Ada juga kebijakan untuk mendorong ekspor otomotif, elektronik, garmen, serta makanan dan minuman.
Selain itu, ia juga menyinggung soal kebijakan lanjutan substitusi impor. "Di samping juga mempersiapkan kebijakan lanjutan untuk subtitusi impor, baik baja dan farmasi," ujarnya saat menghadiri peringatan 64 Tahun Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di Jakarta, Senin (28/1).
(Baca: Dorong Peningkatan Ekspor, Kadin Dukung Penyederhanaan Aturan)
Adapun tahun lalu, banjirnya impor besi dan baja memang menjadi salah satu pemicu melebarnya defisit neraca dagang hingga mencapai US$ 8,57 miliar atau yang terbesar sepanjang sejarah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor besi dan baja sepanjang 2018 mencapai US$ 10,25 miliar atau meningkat 28,31% dibandingkan tahun sebelumnya (year on year/yoy). Kontribusinya sebesar 6,45% dari total impor nonmigas nasional.
Dengan berbagai kebijakan, pemerintah pun optimistis ekspor bisa tumbuh 6,3% (yoy), atau sedikit lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan tahun lalu sebesar 6,3% (yoy). Sementara itu, impor diprediksi bisa ditekan hingga hanya tumbuh 7,1% (yoy) atau nyaris separuh dari tahun lalu yang diproyeksikan sebesar 13,4% (yoy).
(Baca: Pemerintah Prediksikan Pertumbuhan Impor 2019 Hanya Separuh Tahun lalu)
Sementara itu, BI optimistis defisit neraca transaksi berjalan (neraca dagang barang dan jasa) bisa mengecil. Defisitnya diperkirakan sebesar 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini, atau lebih rendah dari tahun lalu yang diperkirakan berkisar 3% terhadap PDB.
Dengan perbaikan neraca transaksi berjalan, ditambah menguatnya neraca modal dan finansial – seiring aliran masuk masuk dana asing ke pasar keuangan domestik – maka secara keseluruhan neraca pembayaran diprediksi membaik. Ini artinya, dalam gambaran besar, pasokan dan permintaan dolar AS lebih seimbang.
Sebelumnya, BI menyebut aliran masuk dana asing ke pasar saham, surat utang pemerintah, dan surat utang korporasi mencapai Rp 19,2 miliar sejak awal tahun hingga 24 Januari. “Secara keseluruhan, sisi fundamental neraca pembayaran lebih baik dengan defisit transaksi berjalan yang menurun dan siklus neraca modal semakin meningkat," ujar Perry.
(Baca: BI Optimistis Defisit Transaksi Berjalan Susut Mulai Kuartal I 2019)
Selain imbas kebijakan ekspor-impor dan aliran investasi asing, Perry menilai penguatan rupiah juga disokong oleh pengembangan pasar valuta asing (valas) domestik. Saat ini, sudah ada pasar spot, swap, dan pasar valas berjangka Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
Nilai tukar rupiah telah kembali mendekati level 13.000 per dolar AS. Pada perdagangan di pasar spot, Senin (28/1), rupiah tercatat berada pada posisi 14.046 per dolar AS, menguat 0,33% dibandingkan dengan penutupan perdagangan pada hari sebelumnya.