Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mulai pertengahan pekan ini. Pada perdagangan di pasar spot, Kamis (17/1) kemarin, rupiah ditutup di level 14.192 per dolar AS atau melemah 0,72% dalam dua hari perdagangan. Hal ini seiring menguatnya dolar AS terutama imbas menyebarnya optimisme seputar negosiasi dagang AS-Tiongkok dan rilis data ekonomi Eropa.
Tekanan terhadap rupiah terpantau masih berlanjut meski sudah tampak mereda. Pada Jumat (18/1) pagi ini, rupiah tercatat bergerak pada rentang Rp 14.155 – Rp 14.195 per dolar AS. Saat berita ini ditulis, rupiah tercatat berada di level 14.184 per dolar AS, menguat tipis 0,05% terhadap dolar AS. Beberapa mata uang Asia lainnya juga menguat tipis kurang dari 0,2%, yaitu won Korea Selatan, baht Thailand, dan dolar Taiwan.
(Baca: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)
Sementara itu, beberapa mata uang Asia sisanya tercatat melemah tipis. Peso Filipina yen Jepang, yuan Tongkok, ringgit Malaysia, dolar Hong Kong, dolar Singapura melemah kurang dari 0,2%, sementara rupee India melemah 0,21%.
Tertahannya penguatan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya seiring dengan kembali menguatnya dolar AS. Nilai tukar dolar AS cenderung menguat terhadap mata uang mitra dagang utamanya. Ini tercermin dari indeks DXY. Indeksnya naik dalam beberapa hari belakangan, dengan kenaikan cukup besar terjadi pada Kamis (17/1) kemarin.
(Baca: Rupiah Bertengger di Kisaran 14.000/US$, BI Nilai Masih Terlalu Murah)
Penguatan dolar AS seiring menyebarnya optimisme di pasar seputar negosiasi dagang AS-Tiongkok. Ini terjadi setelah Wall Street Journal memberitakan bahwa Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin telah mempertimbangkan untuk melonggarkan tarif barang impor dari Tiongkok. Penguatan dolar AS berkurang setelah Kementerian Keuangan AS membantah informasi tersebut.
Informasi seputar tarif ini jadi sentimen positif di pasar lantaran memunculkan harapan prospek ekonomi yang lebih baik di Tiongkok dan AS, serta global. Bila ekonomi membaik, implikasinya kenaikan bunga acuan AS bisa berlanjut. Dalam kondisi begini, aset dalam dolar AS biasanya cenderung jadi incaran.
(Baca: Gubernur BI Pastikan Kebijakan Bunga Acuan Tetap Hawkish)
Selain itu, Reuters mencatat, penguatan dolar AS terjadi seiring dirilisnya data ekonomi Eropa. Data inflasi di Uni Eropa menunjukkan terjadinya tekanan harga yang melampaui target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), sehingga membuat situasinya kompleks bagi ECB yang berniat menaikkan bunga acuannya tahun ini.
Nilai tukar euro terhadap dolar AS pun tercatat melemah 0,7% sejak awal pekan ini hingga Kamis (17/1). "Data yang keluar dari Eropa minggu ini tentu saja berada pada sisi yang lebih “soft” dan menunjukkan bahwa dari sudut pandang ekonomi mereka secara teknis dalam resesi," kata Kepala Currency Strategist Oanda, seperti dikutip Reuters.