(Baca juga: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)

Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan masih ada ruang penguatan nilai tukar rupiah kembali ke posisi awal tahun 2018. Ini artinya, ke kisaran Rp 13.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Hal tersebut dengan mempertimbangkan berbagai hal dari mulai ketidakpastian global yang berkurang hingga kerangka kebijakan moneter dan fiskal yang lebih kuat.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga sempat memprediksikan penguatan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp 13.000 per dolar AS. Penyokongnya, aliran masuk dana asing ke pasar keuangan domestik. Maka itu, perlu upaya untuk menjaga momentum masuknya kembali dana asing, di antaranya lewat kebijakan BI mengerek bunga acuan total 175 basis poin.

Di sisi lain, ia mengatakan, perbaikan defisit transaksi berjalan diperlukan untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Tapi, perbaikan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. "Saya duga dia (rupiah) akan masih bisa tembus ke 13.000 kalau didorong dengan baik. Walau tidak bisa 13.500, paling tidak bisa 13.700 atau 13.800 per dolar AS," kata dia awal Desember lalu.

(Baca juga: Dampak Rupiah Melemah: Bunga Utang dan Subsidi Bengkak Rp 46 Triliun)

Pada perdagangan di pasar spot, Rabu (26/12), atau setelah libur panjang Natal, rupiah tercatat berada pada rentang 14.570-14.609 per dolar AS. Level ini lebih lemah dibandingkan penutupan pada Jumat (21/12) pekan lalu yaitu Rp 14.552 per dolar AS.

Halaman: