Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 6%. Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan keputusan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai hal, termasuk arus masuk dana asing ke pasar keuangan yang berlanjut dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga.
“BI meyakini tingkat suku bunga tersebut masih konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas aman, dan memertahankan daya tarik pasar keuangan domestik, termasuk telah mempertimbangkan tren suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan,” kata Perry dalam Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (20/12).
Ia menjelaskan, arus masuk dana asing ke berbagai aset keuangan termasuk saham dan obligasi global korporasi mencapai US$ 7,9 miliar sepanjang November dan nilai tukar rupiah menguat 6,29% secara point to point. Hal ini, menurut dia, mencerminkan menguatnya kepercayaan investor global terhadap Indonesia.
(Baca juga: Kurs Rupiah Stabil Bisa Jadi Alasan BI Tahan Sementara Bunga Acuan)
Perry tak menafikan terjadinya tekanan terhadap nilai tukar rupiah pada awal Desember. Hal itu lantaran ketidakpastian global yang meningkat dan membesarnya kebutuhan valuta asing (valas) korporasi menjelang akhir tahun.
Di sisi lain, inflasi disebutnya terkendali sesuai target sasaran yakni 2,5-4,5%, dengan kemungkinan realisasi di bawah proyeksi BI yaitu 3,2% secara tahunan. Sementara itu, pertumbuhan kredit mencapai 13,3% per Oktober, lebih tinggi dibandingkan 12,7% pada bulan sebelumnya.
Dari sisi global, ia menjelaskan keputusan terbaru bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), juga jadi bahan pertimbangan BI dalam memutuskan kebijakan bunga acuan. Sesuai ekspektasi, The Fed menaikkan bunga acuannya, pada Kamis (20/12) dini hari. Namun, The Fed diproyeksikan akan mengurangi kecepatan dalam menaikkan bunga acuan menjadi dua kali tahun depan, di bawah proyeksi sebelumnya tiga kali. "Ini menurunkan risiko," kata Perry.
(Baca juga: Peluang Kembali Mengalirnya Dana Asing di Tengah “Melunaknya” The Fed)
Dalam hal defisit neraca dagang, BI menjelaskan defisit pada November terjadi lantaran kondisi dunia yang kurang kondusif. Pertumbuhan ekonomi dunia melandai sehingga memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Namun, defisit neraca dagang dinilai tidak "alarming" untuk Indonesia. Ini dengan melihat komposisi impor yang produktif lantaran didominasi oleh barang modal dan bahan baku.
BI masih memproyeksikan defisit neraca transaksi berjalan (neraca dagang barang dan jasa) bisa berada di bawah batas aman 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “BI akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal termasuk defisit transaksi berjalan agar turun menuju 2,5% terhadap PDB pada 2019,” kata Perry.
Keputusan BI menahan bunga acuan ini sesuai prediksi beberapa ekonom. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan nilai tukar rupiah sudah lebih kuat. Sementara itu, jumlah cadangan devisa November mengalami kenaikan US$ 2 miliar menjadi US$ 117,2 miliar.
"Ini jadi amunisi BI untuk stabilkan rupiah tanpa kerek bunga acuan," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (20/12). Dengan cadangan devisa yang lebih tebal, BI dianggap memiliki keleluasaan untuk menjaga stabilitas rupiah lewat intervensi bila diperlukan.
Menurut dia, sikap wait and see BI diperlukan lantaran The Fed juga kemungkinan tidak akan menaikkan bunga acuannya, Fed Fund Rate, terlalu agresif tahun depan.
Senada dengan Bhima, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kondisi eksternal dalam jangka pendek sedang membaik. Kenaikan terbaru Fed Fund Rate pun sudah dalam ekspektasi pasar sehingga rupiah bergerak lebih stabil. "Jadi mungkin (bunga acuan BI) belum perlu naik," ujarnya.
Namun, dalam jangka menengah, David menilai BI perlu menaikkan bunga acuannya lantaran defisit transaksi berjalan pada triwulan IV diperkirakan masih tinggi. Dengan demikian, perlu kerja keras untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke target 2,5% terhadap PDB tahun depan.
Selain memertahankan bunga acuan, BI juga memertahankan suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) masing-masing di posisi 5,25% dan 6,75%.