Menanti Reaksi Obat Penguat Rupiah Racikan Pemerintah

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung membuka Executive Leadership Program bagi direksi BUMN di Istana Negara, Jakarta, 25 Januari 2017.
Penulis: Rizky Alika
4/9/2018, 12.12 WIB

Cadangan devisa (cadev) yang tergerus mengharuskan pemerintah putar otak guna meningkatkan suplainya. Penyusutan cadev ini terpengaruh meningkatnya permintaan dolar Amerika Serikat di dalam negeri untuk membiayai impor maupun kewajiban utang.

Masalahnya, nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sedang terpuruk. Sejumlah faktor eksternal memengaruhi makroekonomi Indonesia, sebut saja perkara perang dagang, krisis di Turki dan Argentina, plus tren penaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Fed Funds Rate.

Soal cadev, merujuk kepada data Bank Indonesia (BI) diketahui bahwa realisasinya per Juli sebesar US$ 118 miliar atau menunjukkan penurunan keenam kali dari posisi tertinggi pada awal tahun ini. Tapi angka ini tetap dalam kategori aman lantaran memenuhi kebutuhan 6,9 bulan impor.

(Baca juga: Terus Turun 6 Bulan Terakhir, Cadangan Devisa Juli US$ 118 Miliar)

Adapun, mengacu kepada pasar spot di Bloomberg tercatat kurs rupiah pada Selasa (3/9) pagi berada di posisi Rp 14.780 per dolar AS. Artinya, rupiah rebound 35 poin atau 0,24% terhadap penutupan kemarin, Senin (3/9). Pergerakan rupiah hari ini terpantau pada kisaran 14.780 -14.845. 

Presiden Joko Widodo menekankan kepada jajaran kabinetnya agar berbagai kebijakan, yang ditujukan untuk meningkatkan pasokan devisa sembari menstabilkan kurs rupiah, dilaksanakan secara tepat. Memperkuat presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan bahwa pemerintah berupaya agar bauran kebijakan yang ada dapat berjalan efektif.

"Presiden betul-betul ingin supaya langkah-langkah kebijakan yang sudah dirumuskan itu dibuat sedetil mungkin dan dikomunikasikan supaya masyarakat tidak anggap ini kaya dulu lagi," katanya, di Jakarta, Senin (3/9).

Kepada sejumlah menteri, Presiden Jokowi sempat mendiskusikan soal perkembangan devisa hasil ekspor, pewajiban biodiesel 20% (B20), kinerja ekspor batu bara, pengendalian impor, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan sejumlah kebijakan lain. Semua itu diharapkan bisa mempertahankan daya tarik Indonesia di mata investor.

(Baca juga: Langkah Realistis Pemerintah Hadapi Defisit)

Soal pengendalian arus impor ratusan barang konsumsi, ini tak sekadar untuk mengurangi pembelian dari luar negeri. Pemerintah berharap pula kebijakan ini dapat mendongkrak bisnis para pengusaha lokal yang akan mensubtitusi produk impor itu. Kementerian Keuangan mengidentifikasi barang mana saja yang akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) impor lebih tinggi.

(Baca juga: Kendalikan Impor, Pemerintah Kaji Penaikan PPh 900 Barang Konsumsi)

Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) juga berkoordinasi menjaga suplai dolar AS bagi kebutuhan pembayaran utang valas PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). (Baca juga: Sri Mulyani Periksa Penyebab Laba PLN dan Pertamina Merosot)

Upaya penguatan rupiah juga dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK berjanji akan menindak spekulan yang memanfaatkan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS untuk kepentingan yang terlegitimasi maupun sekadar spekulasi. Oknum-oknum ini akan ditelusuri.

Sementara itu, kalangan ekonom menilai bahwa racikan obat dari pemerintah belum pas kalau tujuannya ingin menyembuhkan rupiah seketika. Lagi-lagi, mereka mempertimbangkan dinamika perekonomian dunia yang sukar diprediksi bahkan tetiba bisa menimbulkan terapi kejut.

Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan, usaha menstabilkan kurs rupiah di tengah iklim ekonomi global yang tak menentu tidaklah mudah. Tidak mungkin pula untuk memperkuat nilai tukar mata uang Garuda dalam waktu singkat. "Pasti akan membutuhkan waktu yang cukup panjang," katanya kepada Katadata.co.id.

Piter menilai lebih spesifik soal pengendalian barang konsumsi impor dan pewajiban B20, menurut dia, dampaknya baru terasa secara efektif paling tidak tiga sampai enam bulan ke depan. Asumsi inipun bersyarat, asalkan tak ada tekanan mendadak yang semakin menjatuhkan pamor rupiah.

Pendapat yang sama berlaku untuk kebijakan di sektor pariwisata yang ditujukan untuk mengungkit devisa. Strategi ini tidak bisa berbuah cepat. "Kita semua tahu, upaya mendorong pariwisata menjadi program jangka panjang Kemenpar. Itupun hasilnya belum banyak terwujud," ujar Piter.

Direktur CORE Mohammad Faisal berkomentar pula soal upaya memacu pariwisata. Menurutnya, pemerintah perlu menetapkan target jumlah wisatawan dan spending mereka selama bertandang ke Indonesia. Guna meningkatkan ketertarikan pelancong bisa dirangsang dengan menggelar aneka atraksi lokal.

(Baca juga: 2019, Industri Pariwisata Dibidik Hasilkan Devisa US$ 20 Miliar)

Adapun soal B20, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengutarakan bahwa apabila target yang dibidik adalah mempertahankan daya saing Indonesia di pasar ekspor maka kebijakan ini perlu diterapkan jangka panjang. Untuk merasakan dampak positifnya jelas butuh waktu. "Bisa dilihat dampaknya paling tidak tahun depan dan seterusnya," kata dia.

(Baca juga: Jurus OJK Pacu Ekspor dan Tingkatkan Perolehan Devisa)

Indonesia membutuhkan pasokan dolar AS untuk memperkuat kinerja perekonomian. Manakala devisa terdongkrak niscaya lebih mudah menyelesaikan perkara defisit neraca berjalan maupun pembayaran. Efek samping lainnya ialah stamina rupiah menguat. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa obat butuh waktu untuk bereaksi.