Tantangan pengelolaan utang pada 2019 lebih menantang. Bukan cuma menutup defisit Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) serta membayar utang jatuh tempo, perlu dicermati juga perolehan dari perpajakan jangan sampai shortfall.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa besaran utang jatuh tempo pada tahun depan Rp 409 triliun. Angka ini diakuinya relatif tinggi dan bukan jumlah yang ringan bagi APBN.
"Tahun depan agak berat karena banyak utang masa lalu yang jatuh tempo, utangnya cukup tinggi," kata dia, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Kemenkeu mengklaim, penggunaan utang sesuai rambu dan dikelola secara hati-hati. Dikemukakan pula bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia termasuk yang rendah di dunia. Pemerintah berupaya terus menjaga kisarannya di bawah 30% terhadap PDB.
(Baca juga: Tepis Kritik Ketua MPR soal Utang, Sri Mulyani: Itu Politis dan Sesat)
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, strategi untuk menutup utang jatuh tempo bisa melalui refinancing penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor yang lebih panjang.
Namun demikian, imbuhnya, pemerintah juga perlu mencermati beban bunga SBN yang hampir pasti naik pada 2019. "Karena pada tahun depan, Fed Funds Rate proyeksinya naik hingga tiga kali," ujar dia.
Bhima memprediksi, total utang pada tahun ini menjadi Rp 4.326 triliun. Adapun, dengan rencana penambahan utang baru di dalam RAPBN 2019 sebesar Rp 359,3 triliun maka sampai pengujung tahun depan totalnya bisa menyentuh Rp 4.685 triliun atau naik 8,3% (year on year).
"Penambahan utang baru (RAPBN 2019) belum menghitung kemungkinan refinancing utang jatuh tempo," katanya. Proyeksi atas besaran utang pemerintah tersebut berpotensi membengkak jika penerimaan pajak mengalami shortfall lantaran pertumbuhan targetnya overshoot.
Sementara itu, strategi front loading yang hendak digunakan pemerintah melalui penerbitan SBN baru juga diprakirakan berpeluang melebar dari target. Alhasil, pengurangan pembiayaan anggaran pada 2019 tampak sulit direalisasikan.
RAPBN 2019 mencatat, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp 359,3 triliun atau turun 7,82% dibandingkan dengan tahun ini yang menyentuh Rp 387,4 triliun. Perinciannya, yakni pembiayaan dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 386,2 triliun dan dari pinjaman minus Rp 26,9 triliun.
(Baca juga: 2019, Defisit APBN Diprakirakan 1,84% terhadap PDB)
Apabila, pertumbuhan utang tahun depan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3% tidak sejalan maka pengelolaan utang menjadi lebih menantang. Pertumbuhan utang yang lebih tinggi dapat mengindikasikan utang kurang dikelola secara produktif.
"Jadi, pada 2019 tantangan utang sekali lagi makin berat," ujar Bhima.