Bauran Insentif sebagai Bantalan untuk Transaksi Berjalan

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Rizky Alika
13/8/2018, 18.10 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) menyatakan, untuk menopang defisit neraca transaksi berjalan maka insentif perpajakan perlu diperkuat dengan jurus khusus yang dapat meningkatan daya saing industri nasional.

Secara lebih spesifik, Menteri PPN Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa Indonesia tidak cukup sekadar memperkecil aliran impor barang tetapi juga harus mengupayakan subtitusi. Dalam hal ini, pemerintah sangat menyoroti sektor energi.

“Lebih tepatnya, kami terus mengendalikan impor terutama untuk BBM. Makanya, kami mendorong program biodiesel 20% (B20) untuk mengurangi minyak diesel,” tuturnya, di Jakarta, Senin (13/8).

Selain itu, Kementerian PPN alias Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga berkomitmen memperketat implementasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Hal ini juga bermaksud supaya impor barang lebih terkendali.

(Baca juga: Impor Migas Naik, Defisit Transaksi Berjalan Juni Terburuk Sejak 2014)

Current account deficit (CAD) per triwulan kedua yang setara 3% terhadap PDB diakui pemerintah sebagai angka yang cukup besar. Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, Indonesia relatif jarang mengalami defisit transaksi berjalan sedalam ini.

"CAD mencapai 3% terhadap PDB ini angka yang bukan hanya secara internasional, tapi kita sendiripun, jarang sekali sampai ke tingkat itu," tuturnya.

Kemenko Bidang Perekonomian mengamini bahwa pemerintah perlu segera menentukan strategi khusus menghadapi posisi CAD sekarang. Tapi ditanya lebih rinci, Darmin mengatakan bahwa pihaknya belum dapat membeberkan lebih jauh soal insentif yang akan diterapkan.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa posisi CAD sebetulnya tetap lebih baik dibandingkan dengan pada 2015 yang melampaui 4% terhadap PDB. Kendati demikian, pihaknya tetap berhati-hati dalam menjaga keseimbangan neraca transasksi berjalan. 

"Kami waspada. Kita tetap perlu hati-hati karena lingkungan yang kita hadapi sangat berbeda sekali dengan tahun 2015," ujarnya.

Sri Mulyani menjelaskan lebih jauh, pada 2015 kebijakan moneter nonkonvensional (quantitative easing) masih ada. Adapun, tren kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia pada masa itu belum terjadi. Dua hal ini yang menjadi faktor depresiasi mata uang berbagai negara.

Sebagai prakiraan, Ekonom Bhima Yudhistira Adhinegara mengutarakan bahwa defisit transaksi berjalan berpotensi melebar di triwulan ketiga dan keempat 2018. "Pada triwulan III/2018 diprediksi sekitar 2,8% sampai 3,1%," katanya kepada Katadata secara terpisah.

Selanjutnya, pada triwulan terakhir neraca transaksi berjalan diproyeksikan melebar pula. Asumsi ini dengan mempertimbangkan pergerakan penaikan biaya kebutuhan impor ditambah realisasi proyek infrastruktur yang menyedot bahan dari pasar global.