Niai tukar rupiah kini bertengger di level Rp 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Level ini jauh di atas asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu Rp 13.400 per dolar AS. Namun, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara meyakinkan kondisi ini tak mengganggu APBN.

Suahasil menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah meningkatkan penerimaan dan pengeluaran negara. Namun, menurut perhitungan institusinya, dampaknya lebih besar ke penerimaan negara. “Yang kami dapatkan itu penerimaan di APBN lebih tinggi dibandingkan pengeluarannya karena nilai tukar,” kata dia di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5)

Atas dasar itu, ia pun menilai dampak pelemahan nilai tukar rupiah ke APBN tak perlu dikhawatirkan. Tahun ini, pemerintah membidik defisit APBN sebesar 2,19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau lebih kecil dari realisasi tahun lalu yang sebesar 2,46%.

Ia menambahkan, pemerintah juga akan terus memantau dampak fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap inflasi, kondisi ekonomi masyarakat, hingga kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Nilai tukar rupiah menembus level Rp 14.000 mulai Senin (7/5), setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2018. Pertumbuhan ekonomi 5,06%, atau di bawah prediksi pemerintah yaitu 5,2%. Namun, pertumbuhan tersebut paling tinggi dalam periode sama di tiga tahun belakangan.

(Baca juga: Kurs Rupiah Tembus Rp 14 Ribu setelah Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi)

Meski begitu, Suahasil menyangkal data pertumbuhan ekonomi tersebut turut memicu arus keluar dana asing yang kemudian menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi cukup baik dan mendapatkan apresiasi yang baik pula dari berbagai pihak.

Adapun pada perdagangan di pasar spot Selasa (8/5) pukul 14.50 WIB, nilai tukar rupiah berada di level 14.038 per dolar AS atau melemah 0,26% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. Beberapa mata uang negara Asia lainnya juga mengalami pelemahan nilai tukar, namun rupiah tercatat kembali memimpin pelemahan.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan tekanan terhadap nilai tukar rupiah memang kemungkinan menguat di kuartal II. Hal itu lantaran kebutuhan pemerintah dan swasta akan dolar AS membesar untuk membayar dividen dan bunga ke luar negeri, serta impor.  

(Baca juga: Ekonom Bicara Kejatuhan Rupiah dan Kebijakan Bunga BI)

Namun, ia meyakinkan BI akan terus berada di pasar untuk melakukan langkah-langkah stabilisasi yang diperlukan. "Misalnya kami melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) atau memberikan likuiditas rupiah atau menarik likuiditas rupiah yang berlebih di market," ujarnya.

Adapun langkah stabilisasi kurs rupiah telah membuat cadangan devisa tergerus sejak Februari 2018 lalu. Meski begitu, cadangan devisa masih cukup besar yaitu di level US$ 126 miliar per akhir Maret 2018 lalu atau setara 7,9 bulan impor, jauh di atas standar kecukupan internasional yaitu tiga bulan impor.