Awal bulan lalu, ketika Trump kembali menyatakan ancaman kenaikan tarif impor, Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani berharap langkah tersebut tidak dilaksanakan sebab bakal merugikan Amerika dan Cina. Lebih dari itu, perang dagang akan menimbulkan kekacauan global. “Sejarahnya, dampak perang dagang pasti buruk ke ekonomi dunia,” kata Sri Mulyani. 

Pernyataan waspada juga diungkapkan Darmin Nasution. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini, langkah Amerika menerapkan tarif impor tinggi akan meningkatkan penjulan baja Tiongkok ke beberapa negara. (Baca: Pemerintah Antisipasi Lonjakan Impor Dampak Perang Dagang Tiongkok-AS).

Kapasitas produksi baja mereka luar biasa besar, jadi bajanya pasti kemana-mana, termasuk ke Indonesia,” ujar Darmin sembari menambahkan situasi tersebut bisa menghawatirkan produksi baja dalam negeri.

Keresahan produsen lokal akan banjir baja dari Cina cukup beralasan. Sebelum perang dagang dua negara tersebut, produk komoditas konstruksi dari Cina ini sudah mengguyur Indonesia sejak dua tahun lalu. Ketika itu, ekonomi dunia masih lesu. Industri Tanah Air pun mengerem berbagai rencana ekspansi, bahkan memangkas sejumlah produksi. Upaya mendatangkan barang dari luar negeri berkurang drastis.

Pada April 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan impor hampir semua komoditas anjlok. Namun tidak demikian dengan baja. Nilai impor baja membludak hingga US$ 79,2 juta (Rp 1,11 triliun), bertambah 34,59 persen dari Maret 2016. Dari mana asal komoditas tersebut? BPS mencatat ada tiga negara pengimpor baja terbesar saat itu: Cina, Jepang, dan Thailand.

Banjir baja Tiongkok ini sangat terkait dengan melimpahnya produk yang mereka bikin. Rhodium Group, sebuah perusahaan konsultan internasional, menyatakan Tiongkok sedang mengalami surplus baja dalam jumlah besar –juga produk lain seperti semen, kertas, dan kaca. (Baca: Bertahan dari Serbuan Baja Cina).

Dalam kalkulasi mereka, nilai produksi baja Cina lebih besar bila buatan Jepang, Amerika, dan Jerman digabungkan. Tak mengejutkan jika kenaikan produksi baja global sebesar 57 persen dalam satu dekade terakhir hingga 2014 kemarin dikuasi Cina sekitar 91 persen.

Melihat perkembangan tersebut, produsen dalam negeri menjadi ketar-ketir sebab harga produk impor lebih miring. Sejumlah pelaku idustri mengusulkan agar pemerintah menerapkan anti dumping. Namun, Kementerian Perindustrian menyatakan kebijakan tersebut bukan pilihan tepat. Sebab, hal itu malah bisa berdampak buruk bagi industri Indonesia karena dapat memicu aksi balasan dari Cina.

Eric Sugandi, pengamat ekonomi ADB Institue, menyatakan Indonesia memang masih begitu tergantung pada ekspor komoditas terutama ke Tiongkok. Karena itu, Indonesia lebih baik tidak menerapkan kebijakan proteksionis sebab berpotensi mendapat serangan balik. Sebagai solusinya, industri baja dalam negeri harus ditingkatkan agar lebih kompetitif.

Selain baja, dampak perang dagang ini juga merembat ke industri lain secara umum. Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta W Kamdani, rendahnya nilai PMI (Purchasing Managers' Index) disebabkan karena pengusaha mewaspadai ketidakpastian baru dari perang dagang ini. Permintaan di pasar dunia pun menyusut sehingga produksi dalam negeri dikurangi.

Hal itu diperlihatkan pada ekspansi bisnis industri manufaktur yang melemah pada kuartal pertama 2018. PMI Indonesia pada Maret 2018 berada pada level 50,7, lebih rendah dibandingkan Februari 2018 yang 51,4. Nilai PMI di atas 50 berarti industri makin berekspansi, begitu sebaliknya. (Baca: Perang Dagang Trump Berpotensi Kurangi Laju Ekonomi Indonesia).

Walau ada sejumlah kekhawatiran, Bank Indonesia meyakinkan bahwa perang dagang di pasar global saat ini akan memperoleh jalan keluarnya. “Trade war ini akan memperoleh suatu solusi sehingga tidak perlu terjadi kondisi yang sama-sama kita tidak inginkan,” kata Gubernur BI Agus Martowarojo, Selasa (3/4/2018).

Halaman: