Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menanggapi keresahan yang berkembang di tengah masyarakat dalam sepekan terakhir terkait dengan penerapan kebijakan pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty). Menurutnya, masyarakat tidak perlu merasa resah dan menyalahartikan kebijakan yang dijalankan pemerintah mulai 18 Juli lalu hingga akhir Maret 2017.
Jokowi menekankan, kebijakan itu diluncurkan terutama untuk menyasar pembayar pajak besar. "Tax amnesty ini memang sasarannya adalah pembayar-pembayar pajak besar, utamanya yang menaruh uangnya di luar (negeri)," katanya usai membuka acara "Indonesia Fintech Festival & Conference" di Indonesia Convention and Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Selasa (30/8). Namun, amnesti pajak ini bisa diikuti oleh pihak lain, seperti usaha-usaha menengah dan usaha kecil.
Selain itu, Jokowi juga menegaskan bahwa kebijakan tersebut adalah fasilitas yang disediakan oleh negara sehingga boleh digunakan atau tidak. Payung hukum yang telah dikeluarkan pemerintah menempatkan amnesti pajak sebagai hak yang bisa diambil oleh masyarakat, dan bukan merupakan kewajiban. (Baca: Darmin: Tax Amnesty untuk Orang Punya Banyak Uang dan Harta)
"Ini kan hak. Yang gede-gede pun seperti itu, bisa menggunakan bisa tidak. Usaha kecil bisa menggunakan, bisa tidak. Payung hukum tax amnesty itu untuk itu, jadi bukan wajib. Kok ramai banget sih," ujarnya.
Presiden pun menyayangkan adanya keresahan yang timbul di masyarakat akibat kebijakan amnesti pajak. Hal ini menyebabkan pemerintah yang semula harus berkonsentrasi memecahkan masalah-masalah besar, justru harus terkuras konsentrasinya menanggapi hal-hal seperti itu.
Namun, Jokowi tetap memperhatikan keresahan masyarakat tersebut dengan meresponsnya melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang baru dirilis, Senin (29/8) kemarin. "Sudah dikeluarkan peraturan dirjen, yang di situ mengatakan untuk petani, nelayan, atau pensiunan, sudahlah. Tidak perlu ikut tax amnesty. Tidak usah ikut menggunakan haknya mengikuti tax amnesty," ujar Jokowi.
(Baca: Tax Amnesty Bebani Masyarakat, Pemerintah Diminta Buat Terobosan)
Pada Senin sore (29/8), Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugeasteadi memang telah merilis Peraturan Dirjen Pajak Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak. Menurut Ken, peraturan itu menjelaskan sejumlah hal teknis yang menjadi kebingungan publik delama ini. Misalnya, terkait pensiunan yang harus membayar tebusan, atau harta berupa rumah yang belum sempat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT).
“Pokoknya untuk pensiunan, misalnya, atau orang yang penghasilannya dari satu sumber (bisa mengacu aturan tersebut),” kata Ken. Peraturan anyar itu memang menegskan, orang pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan, TKI, atau subjek pajak warisan yang belum terbagi, yang jumlah penghasilannya pada tahun 2015 di bawah Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) diperbolehkan tidak mengikuti amnesti pajak. Sedangkan harta warisan dan hibah bukan merupakan objek amnesti pajak.
Selain itu, wajib pajak mendapatkan kesempatan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak jika ingin melaporkan hartanya namun tidak mau mengikuti amnesti pajak. (Baca: Wajib Lapor Harta, Tax Amnesty Mulai Meresahkan Masyarakat)
Peraturan itu muncul setelah masyarakat dilanda kereasahan lantaran menganggap amnesti pajak lebih menyasar masyarakat menengah-bawah. Padahal, pemerintah selama ini menyatakan kebijakan itu untuk menggiring masuknya dana para wajib pajak yang bermukim di luar negeri.