Tarif Tax Amnesty Usulan Pemerintah Dinilai Terlalu Rendah

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
20/4/2016, 15.41 WIB

Terkait tarif tebusan, Anggito mengusulkan nilainya lima dan tiga persen untuk yang mengikuti repatriasi. Sebab banyak negara yang menerapkan kebijakan ini memberikan tarif besar. Selain itu, pada tahun depan mulai berlaku AEOI, juga perjanjian perturakan informasi dengan Singapura. Dengan kedua fasilitas ini, semestinya tanpa tax amnesty pemerintah bisa mengejar penerimaan pajak. Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini juga mengusulkan agar instrumen repatriasi bukan hanya obligasi, tetapi juga saham. “Bagaimana kalau harta wajib pajak disimpan di bank persepsi di luar negeri. Misal di Bank Mandiri di London, perlu dipindahkan nggak? Kan sudah masuk yurisdiksi Indonesia,” ujarnya.

Untuk objek pajaknya, Anggito menyayangkan hanya pajak di bawah Direktorat Jenderal Pajak yang bisa diampuni seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Padahal, banyak pula perusahaan minyak dan gas yang ingin mengajukan permohonan. Aturannya pun perlu dipermudah seperti untuk kelebihan bayar pajak atau restitusi.

Senada dengannya, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan semestinya besaran tarif bisa diturunkan. Afrika Selatan, dia memberi contoh, menerapkan tarif lima persen untuk repatriasi dan 10 persen tanpa repatriasi. Langkah ini berhasil karena didahului dengan rekonsiliasi politik. Selain itu, pemerintahnya menjamin revenue tax reform. Apalagi, setelah rekonsoliasi politik disiapkan skema pengampunan pajak untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Kasus lainnya di Itali yang menerapkan tarif lima persen. Di sana pun berhasil karena didahului intelijen ekonomi sehingga datanya diketahui lebih dulu. Negara lain yang dianggap berhasil yakni Turki sehingga rasio pembayaran pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) alias tax ratio meningkat. (Baca juga: (Baca: “Pendosa” Pajak Akan Bebas dari Jeratan Pidana).

Selain itu, Prastowo usul tidak perlu terlalu banyak lapisan tarif agar lebih sederhana. Akan lebih baik pula jika disediakan tarif khusu untuk UMKM, misalnya satu sampai dua persen. “Kalau diukur dari penerimaan nggak banyak, kalau tarif cuma dua persen. Kami moderat hitung hanya Rp 40 sampai 60 triliun,” ujar Prastowo.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan persoalan tarif memungkinkan untuk dibahas kembali. Hal itu tergantung pada hasil diskusi dengan fraksi-fraksi di Komisi Keuangan DPR.

Halaman:
Reporter: Muchamad Nafi