Tax Amnesty Disetujui, Penyidikan Pidana Pajak Dapat Dihentikan

Arief Kamaludin|KATADATA
Pengadilan Pajak KATADATA|Arief Kamaludin
Penulis: Muchamad Nafi
18/4/2016, 12.42 WIB

Di tengah tarik-ulur kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty, pemerintah telah mengeluarkan aturan yang bisa menjadi pelaksana ketentua tersebut. Akhir dua pekan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Negara.

Langkah Bambang Brodjonegoro memperlihatkan optimisme pemerintah akan hasil akhir perdebatan tax amnesty. Sebab, pada sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, RUU tersebut hampir kembali kandas walau telah disepakati oleh Badan Musayawarah DPR. Ketua DPR Ade Komarudin, yang memimpin rapat paripurnan, mengatakan RUU Tax Amnesty diselesaikan oleh Komisi Keuangan. Selain itu, Pimpinan DPR dan Fraksi akan menggelar rapat konsultasi dengan pemerintah. Targetnya, aturan ini rampung dalam masa persidangan bulan ini.

Dengan demikian, keputusan Bambang menerbitkan Peraturan Menteri seakan  sebagai tindakan sedia payung seblum hujan. Sebab, dalam aturan tersebut, pemerintah membuka peluang bagi wajib pajak yang sedang dalam proses penyidikan pidana pajak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan. Prosedurnya, permohonan disampaikan kepada menteri keuangan setelah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar. (Baca: Bertemu Jokowi, DPR Janjikan RUU Tax Amnesty Rampung Bulan Ini).

Bambang menyatakan, sebagaimana tercantum dalam PMK, bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, Menteri Keuangan mengajukan permintaan penghentian penyidikan kepada Jaksa Agung atas tindak pidana di bidang perpajakan. Permintaan penghentian penyidikan dilakukan setelah wajib pajak mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan. Yaitu dilakukan oleh, “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan,” demikian bunyi Pasal 2 ayat 3 b. Selain itu, dapat pula dilakukan oleh kuasa atau pegawai dari wajib pajak yang terkait dengannya.

Tim riset Bank Mandiri menafsirkan bahwa dengan aturan tersebut wajib pajak yang sedang dalam proses penyidikan pidana pajak dapat mengajukan permohonan penghentian penyidikan kepada Menteri Keuangan setelah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar. Selain itu, membayar sanksi administrasi berupa denda empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar. (Baca juga: (Baca: Meski Alot, Komisi XI DPR Akhirnya Bersedia Bahas RUU Tax Amnesty).

Menurut mereka, aturan ini bermaksud untuk menyederhanakan proses penyidikan dan memberi kemudahan bagi wajib pajak yang akan melunasi kewajibannya. Karena itu, wajib pajak yang ingin penyidikan pidana pajaknya dihentikan mesti membayar pelunasan dan denda secara langsung ke rekening Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan sebelumnya mensyaratkan pembayaran tunggakan dan denda pajak dibayar melalui mekanisme rekening jaminan (escrow account). 

Terkait dengan pelaksanaan tax amnesty, tim riset Bank Mandiri menyarankan agar dana hasil repatriasi wajib diinvestasikan di dalam negeri. Mereka berharap uang warga Indonesia yang sebagian “bersembunyi” di negara-negara suaka pajak atau tax havens itu harus diinvestasikan setidaknya tiga tahun sejak ditanam pada instrumen yang ditentukan pemerintah.

Investasi tersebut dapat dilakukan melalui tiga instrumen yaitu surat berharga negara (SBN), obligasi BUMN, dan instrumen investasi keuangan di perbankan yang ditunjuk oleh pemerintah. “Meskipun demikian, wajib pajak dapat melakukan investasi di instrumen investasi yang lain setelah tahun kedua sejak melakukan repatriasi dana,” kata mereka, akhir pekan lalu. (Baca: Tax Amnesty Diduga Picu Tiga Jebakan Moral).

Instrumen-instrumen tersebut antara lain berupa obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. Atau bisa juga lari ke investasi infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dengan badan usaha, sektor properti, dan sektor riil yang prioritisasinya ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

Sementara itu, tarif tebusan yang berbeda akan dikenakan kepada wajib pajak yang melakukan repatriasi. Tim riset Mandiri mengusulkan agar skema tarif tebusan untuk wajib pajak yang hanya melakukan pemberitahuan (declare) nilai selisih aset bersihnya sebesar dua persen. Nilai ini diperoleh dengan membandingkannya terhadap selisih nilai aset bersih yang diajukan mendapat tax amnesty dalam rentang tiga bulan sejak aturan tax amnesty diberlakukan. Lalu, empat persen untuk tiga bulan berikutnya, dan enam persen hingga akhir 2016.

Perlakuakan lebih istimewa dikenakan bagi wajib pajak yang melakukan repatriasi dana. Besar tarif tebusannya yakni satu, dua, dan tiga persen. Terkait eligibilitas-nya, tax amnesty dikecualikan kepada wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan. (Baca pula: Tax Amnesty dan Keresahan Lapangan Banteng).