Harga Pangan Melambung, Inflasi Desember Tertinggi Selama 2015

Arief Kamaludin|KATADATA
KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
4/1/2016, 14.37 WIB

KATADATA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sepanjang 2015 mencapai 3,35 persen. Pencapaian tersebut merupakan yang terendah sejak 2010 silam. Secara berturut-turut, inflasi tahunan pada periode 2010-2014 sebesar 6,96 persen; 3,69 persen; 4,3 persen; 8,38 persen; dan  8,36 persen.

Meski begitu, inflasi bulanan pada Desember 2015 sebesar 0,96 persen, yang merupakan inflasi tertinggi sepanjang tahun lalu. Angka inflasi pada Desember lalu tersebut, bahkan lebih tinggi dari inflasi pada Juli 2015 yang sebesar 0,93 persen akibat efek kenaikan harga barang-barang selama bulan puasa dan lebaran.

Adapun dibandingkan dengan bulan sama tahun sebelumnya, inflasi Desember 2015 memang lebih rendah. Namun, angka inflasi Desember 2014 yang sebesar 2,46 persen akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan sebelumnya. Alhasil, di luar efek harga BBM, inflasi Desember 2015 ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2007.

“Inflasi Desember di luar perkiraan kami,” kata Glenn Maguire, Chief Economist ANZ untuk ASEAN, Asia Tenggara dan Pasifik, dalam siaran persnya, Senin (4/1). Pasalnya, inflasi pada Desember 2014 yang sebesar 2,46 persen terdistorsi oleh kenaikan harga BBM. Padahal, rata-rata inflasi bulanan Desember selama periode 2009-2013 sekitar 0,54 persen.

Menurut Kepala BPS Suryamin, seluruh kota di Indonesia mencatatkan inflasi pada Desember 2015. “Yang tertinggi di Merauke 2,87 persen, dan terendah 0,27 persen di Cirebon," katanya di kantor BPS, Jakarta, Senin (4/1).

(Baca: Karena Cabai, BI Revisi Perkiraan Inflasi Tahun Ini)

Berdasarkan komponen pembentuk inflasi, komponen harga yang bergejolak (volatile food) mencatatkan angka paling besar yaitu 3,53 persen. Sedangkan komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan komponen inti masing-masing sebesar 0,86 persen dan 0,23 persen. Begitu pula jika disetahunkan, tingkat inflasi komponen harga yang bergejolak selama 2015 mencapai 4,84 persen. Sementara komponen harga yang diatur pemerintah dan komponen inti pada 2015 tercatat inflasi sebesar 0,39 persen dan 3,95 persen.

Menurut Suryamin, inflasi inti sebesar 3,95 persen sepanjang tahun lalu cukup terkendali. Meskipun inflasi inti pada 2010 tercatat lebih rendah dari realisasi tahun 2015. "Kalau (inflasi inti) di atas lima persen, kurang bagus."

(Baca: BI dan Pemerintah Siapkan Enam Langkah Menjaga Inflasi 2016)

Penyebab tingginya inflasi dari komponen harga yang bergejolak pada Desember 2015 adalah harga cabai merah dan bawang merah yang melonjak masing-masing 43 persen dan 36 persen. Momen Natal dan Tahun Baru yang memicu peningkatan permintaan, turut mengerek harga daging dan telur ayam ras masing-masing 6,2 persen dan 9,17 persen. Begitu pula dengan tarif angkutan udara yang naik 10,3 persen lantaran meningkatnya arus penumpang selama musim liburan akhir tahun.

Dari sisi komponen harga yang diatur pemerintah, inflasi Desember 2015 dipengaruhi oleh kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 1,8 persen. Meski kenaikannya kecil, bobotnya mencapai 3,44 persen. Harga beras yang naik 0,6 persen juga memiliki bobot 4 persen, sehingga memberi andil 0,03 persen terhadap inflasi Desember 2015.

Meski sempat direvisi, angka inflasi Desember 2015 itu masih sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia (BI). Pada awal Desember lalu, bank sentral pernah memprediksi inflasi Desember 2015 sekitar 0,5 persen sehingga inflasi tahunan masih bisa di bawah 3 persen. “Kami lihat bahwa betul inflasi mungkin ada sedikit lebih tinggi dari tiga persen (full year). Tadinya, kami melihat itu ada di bawah tiga persen,” kata Gubernur BI Agus Maryowardojo, pekan lalu.

(Baca: Tahun Depan, Kinerja Rupiah Diramal Terburuk di Asia)

Inflasi tahun 2015 tersebut juga sesuai prediksi Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi, yang memperkirakan inflasi tahunan sebesar 3,3 persen. "Dengan pencapaian ini, menarik untuk melihat apakah BI mungkin benar-benar menurunkan suku bunganya (BI rate) dalam waktu dekat,” katanya.

Peluang penurunan suku bunga acuan tersebut mungkin terjadi di pekan-pekan terakhir kuartal I-2016. Pasalnya, masih ada potensi penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah. Sedangkan Glenn berani meramal, BI akan menurunkan BI rate sebesar 50 basis poin pada paruh pertama 2016.

Namun, Gundy berharap, BI masih harus mewaspadai gejolak ekonomi yang mungkin terjadi tahun ini. Pasalnya, kondisi tersebut akan berdampak terhadap pelemahan rupiah yang bermuara pada kenaikan inflasi inti pada tahun ini. Alhasil, dia memperkirakan, inflasi pada kuartal I tahun ini bisa melejit hingga mencapai 4-4,5 persen.

Reporter: Desy Setyowati