Suku Bunga BI Rate Dinilai Belum Saatnya Diturunkan

Arief Kamaludin|KATADATA
Penurunan suku bunga acuan BI rate diharapkan bisa mendongkrak konsumsi rumahtangga dan mengerek pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Yura Syahrul
6/11/2015, 12.52 WIB

Namun, kalau BI menaikkan suku bunga acuan maka berisiko memicu kembali gejolak di pasar keuangan sehingga rupiah melemah lagi. “Kalau sekarang dikatakan bisa dipangkas atau belum, menurut saya (peluangnya) 50:50,” kata Josua kepada Katadata, Jumat (6/11).

Dari dalam negeri, BI perlu menghitung ulang pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2016. Apalagi, angka inflasi tahun depan diperkirakan lebih besar karena pengaruh musim keriung berkepanjangan (El Nino) yang akan mengerek harga pangan. Selain itu, mengacu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pemerintah akan memangkas subsidi listrik sehingga tarif dasar listrik (TDL) akan naik. “Ini membuat tambahan inflasi 1-1,5 persen,” kata Josua.      

Dalam kesempatan terpisah, Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi juga meragukan efektivitas penurunan suku bunga saat ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, iklim usaha saat ini belum kondusif. Para pelaku usaha belum bersedia meningkatkan produktivitasnya dan menambah investasi baru karena masih khawatir dengan pelemahan rupiah. Jadi, suku bunga BI rate baru bisa dinaikkan kalau nilai tukar rupiah sudah stabil.

Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan BI akan mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan internasional dalam memutuskan BI rate medio November nanti. Dari luar negeri, BI masih mewaspadai perkembangan ekonomi dunia, baik terkait dengan kebijakan suku bunga The Fed maupun tren perlambatan ekonomi Cina.

(Baca: Deflasi Terus Berlanjut, Suku Bunga Diperkirakan Masih Sulit Turun)

Sedangkan dari dalam negeri, BI mengacu kepada sejumlah indikator fundamental ekonomi, yaitu inflasi, defisit neraca transaksi berjalan (CAD), defisit fiskal, dan pertumbuhan ekonomi. “Ruang untuk menurunkan BI Rate memang ada. Terutama karena inflasi diyakini sesuai target yakni di bawah 4 persen hingga akhir tahun,” kata Agus. Begitupun dengan defisit transaksi berjalan yang diperkirakan lebih rendah dibanding tahun lalu, yakni berkisar 2 persen.

(Baca: Penerimaan Pajak Baru 60 Persen, Defisit Anggaran Terancam Membesar)

Sekadar informasi, selama bulan Oktober lalu terjadi deflasi sebesar 0,08 persen. Jika dihitung berdasarkan tahun kalender, tingkat inflasi Januari–Oktober 2015 sebesar 2,16 persen. Sedangkan inflasi secara tahunan per Oktober 2015 (year on year) sebesar 6,25 persen.

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak per tanggal 4 November lalu baru mencapai Rp 774,4 triliun atau 59,8 persen dari total target penerimaan pajak 2015 senilai Rp 1.294,3 triliun. Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun nanti cuma sekitar 87-88 persen dari target. Artinya, selisih antara realisasi dengan target (shortfall) penerimaan pajak mencapai Rp 155 triliun. Dampaknya tentu saja akan mengganggu penerimaan negara dan membengkaknya defisit anggaran tahun ini yang ditargetkan 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati