Ekonom Ungkap Dua Kondisi Tidak Tepatnya Kebijakan BI Irit Cetak Uang

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Gedung Bank Indonesia (BI), Jalan M. H Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020). Ekonomi menilai kebijakan BI tak mencetak uang tidak tepat. Sebab, inflasi saat pandemni corona cukup rendah.
10/6/2020, 20.43 WIB

Bank Indonesia memilih tidak mencetak uang berlebih guna mendukung perekonomian di tengah pandemi corona. Alasannya, kebijakan tersebut berpotensi mengerek inflasi.

Namun, Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai argumentasi bank sentral tersebut tidak tepat berdasarkan dua kondisi. "Kondisi inflasi kita saat ini tidak setinggi dahulu, saat terjadi hiperinflasi akibat cetak uang berlebih," katanya dalam sebuah diskusi daring, Rabu (10/6).

Kondisi inflasi yang sempat terjadi pada tahun 1960-an sangat berbeda. Dia memerinci, inflasi tahun 1958 sekitar 46%, 1959 turun menjadi 28%, serta 1965 yaitu 594%.

Sedangkan Badan Pusat Statistik mencatat inflasi bulan Ramadan yang jatuh pada Mei tahun ini hanya mencapai 0,07%. Dengan demikian, inflasi secara tahunan hanya mencapai 2,19%.

(Baca: Sentuh Rp 13.877 per dolar AS, BI Optimistis Rupiah Akan Terus Menguat)

(Baca: Akibat PSBB, BI Proyeksi Inflasi Juni Makin Rendah jadi 0,04%)

Kedua, kondisi uang beredar dalam arti sempit (M1) yang menjadi salah satu komponen pemicu inflasi juga berbeda. Pada tahun 1962, M1 naik 100%, tahun 1963 tercatat 94%, tahun 1964 sebesar 156%, dan tahun 1965 mencapai 300%. Sedangkan M1 pada Maret 2020 tercatat melambat dari 15,4% menjadi 8,4% pada April 2020.

Di sisi lain, Piter mengatakan kajian dari BI menyebutkan persoalan inflasi di Indonesia bukan persoalan permintaan dan moneter. Melainkan, distribusi dan harga diatur pemerintah alias administered price.

"Jadi kalau seandainya BI melakukan pencetakan uang berlebih dalam mendukung fiskal, saya kira tidak akan serta-merta menyebabkan lonjakan uang beredar, tidak akan menyebabkan lonjakan permintaan," katanya.

Jika memang terjadi lonjakan permintaan saat ini, menurut dia, persoalan inflasi lebih banyak dipengaruhi dari sisi suplai. Oleh karena itu, selama sisi suplai masih terjaga, Piter menilai hiperinflasi yang dikhawatirkan BI tak akan terjadi.

Dirinya pun berharap bank sentral bisa mengambil langkah ekstra seperti suntikan injeksi likuiditas terhadap perekonomian, tidak hanya dalam bentuk penurunan suku bunga dan pelonggaran giro wajib minimum.

Penyebabnya, aliran likuiditas di Indonesia saat ini dinilai tidak berjalan. "Sehingga kebijakan BI dalam memberi likuiditas langsung ke sektor riil sangatlah diharapkan," ujarnya.

(Baca: Dana Stimulus Ekonomi Berpotensi Bengkak, BI Didorong Cetak Uang)

Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2020, BI sudah melakukan langkah ekstra dengan masuk di pasar perdana dalam lelang Surat Berharga Negara.

"Mengenai cetak uang mungkin tidak, tapi lebih ke dukungan BI lewat injeksi likuiditas dan pemerintah keluarkan surat utang untuk kemudian BI serap," kata Masyita dalam diskusi yang sama.

Sebagaimana diketahui, BI saat ini sudah bisa membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat penyebaran Covid-19. Hingga pekan pertama Juni 2020, BI telah membeli Rp 26,05 triliun SBN dari pasar perdana.

Secara rinci, pada 21-22 April 2020 BI menyerap Rp 4,65 triliun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Kemudian, pada 28-29 April 2020 BI membeli SB sebesar Rp 9,07 triliun. Lalu, pada 5-8 Mei 2020 pembelian SBN oleh BI tercatat sebesar Rp 7,4 triliun, termasuk di dalamnya melalui skema private placement sebesar Rp 3,67 triliun.

Selanjutnya, pada 12 Mei 2020, BI tercatat membeli SBN sebesar Rp 1,77 triliun, dan pada 18 Mei 2020 pembeliannya tercatat sebesar Rp 1,17 triliun. Terakhir, pada pekan pertama Juni sebesar Rp 2,09 triliun.

(Baca: Daya Beli Lesu, Inflasi Ramadan Tahun Ini Rekor Terendah Sejak 1978)

Reporter: Agatha Olivia Victoria