Ekonom Soroti Dampak Negatif Status RI Berpendapatan Menengah Atas

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Ilustrasi, sejumlah warga beraktivitas di pinggir Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta, Minggu (19/4/2020).
Penulis: Rizky Alika
5/7/2020, 12.30 WIB

Ekonom menilai, status negara berpendapatan menengah atas bisa berdampak negatif bagi Indonesia. Utamanya, terhadap pembiayaan utang dan ekspor-impor.

Ekonom Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, kreditur akan memprioritaskan negara berpendapatan rendah. Dengan status negara berpenghasilan menengah atas, ia khawatir Indonesia kesulitan mendapat sumber pembiayaan murah.

Dengan kondisi ini, ia memperkirakan pemerintah semakin gencar menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), dengan tingkat suku bunga pasar. "Mahal sekali suku bunganya,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Minggu (5/7). Saat ini, suku bunga SBN sekitar 7%.

Bhima juga memprediksi, porsi SBN semakin dominan dibandingkan pinjaman bilateral dan multilateral yang bunganya lebih murah. (Baca: Meski Naik Kelas, RI Rentan Jadi Negara Berpendapatan Menengah Bawah)

Di satu sisi, menurutnya Indonesia terlalu cepat masuk ke sektor jasa. “Motor ekonominya rapuh. Ini harus diperbaiki dulu untuk bisa lepas dari jebakan kelas menengah (middle income trap),” ujar dia.

Jebakan kelas menengah merupakan suatu keadaan ketika negara berpendapatan menengah tidak dapat keluar dari tingkatan ini untuk menjadi negara maju. (Baca: Strategi Jokowi Agar Indonesia Tak Masuk Jebakan Pendapatan Menengah)

Selain itu, pemerintah harus mengubah struktur ekonomi guna mendorong manufaktur. Sebab, industrialisasi dinilai dapat menambah serapan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Sedangkan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal khawatir, status tersebut berdampak pada pengurangan fasilitas perdagangan. Fasilitas yang dimaksud, seperti insentif tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP).

Apalagi, banyak industri yang memanfaatkan fasilitas GSP itu seperti tekstil, pakaian jadi, pertanian, perikanan, coklat hingga produk kayu. "Biasanya fasilitas perdagangan diberikan kepada negara berpendapatan bawah atau belum sejahtera," ujar dia.

Selain itu, ia memperkirakan fasilitas perdagangan berupa dispensasi fasilitas non tarif dapat berkurang. (Baca: Dianggap Negara Maju, Indonesia Terancam Bea Masuk Anti Subsidi AS)

Sedangkan Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, status negara berpendapatan menengah atas tak terlalu berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Tetapi, “ini patut disyukuri karena menjadi indikator adanya perbaikan perekonomian,” katanya.

Namun, ia juga mengingatkan pemerintah untuk mendorong perekonomian secara maksimal di tengah pandemi corona, agar tidak terjebak sebagai negara kelas menengah. “Perlu reformasi struktural pasca-pandemi Covid-19 supaya bisa pulih dengan cepat,” ujar dia.

Meski begitu, pandangan positif atas peningkatan status pendapatan Indonesia disampaikan oleh Kementerian Keuangan. Kenaikan kelas ini bisa menjadi salah satu faktor penentu suatu negara memenuhi syarat menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing atau harga pinjaman.

Dalam pernyataan tertulis Kemenkeu, kepercayaan dan persepsi mitra dagang, bilateral, dan pembangunan, serta investor atas ketahanan ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat. Status ini juga menjadi bukti ketahanan ekonomi Tanah Air.

“Status ini diharapkan dapat meningkatkan investasi, memperbaiki kinerja current account, mendorong daya saing ekonomi, dan memperkuat dukungan pembiayaan,” tulis Kemenkeu. (Baca: Bank Dunia Naikkan Status Indonesia, Apa Keuntungannya?)

Kementerian menyampaikan, Bank Dunia telah memberikan dukungan pembiayaan kepada Indonesia sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,62 triliun. Ini untuk penanganan dampak pandemi virus corona.

Reporter: Rizky Alika