Potensi Pemulihan Ekonomi dari Data Kenaikan Ekspor-Impor Bulan Juni

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Total ekspor pada Juni naik 15,09% dibandingkan bulan sebelumnya mencapai US$ 12,03 miliar.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
15/7/2020, 22.11 WIB

Badan Pusat Statistik mencatat surplus neraca perdagangan pada Juni mencapai US$ 1,27 miliar berkat kinerja ekspor dan impor yang membaik. Kenaikan ekspor dan impor yang didorong oleh pelonggaran pembatasan sosial berskala besar ini memberikan harapan terhadap pemulihan ekonomi dari pukulan pandemi virus corona.

"Neraca perdagangan pada Juni ini menggembirakan, ekspor dan impor naik,  mudah-mudahan ini akan berlanjut seterusnya," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers, Rabu (15/7).

Total ekspor pada Juni naik 15,09% dibandingkan bulan sebelumnya mencapai US$ 12,03 miliar. Sedangkan impor naik 27,56% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 10,76 miliar. 

Kenaikan ekspor terjadi pada seluruh sektor, dipimpin oleh pertanian yang mencapai 18,99% dibanding periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 280,2 juta. Industri pengolahan yang mengambil porsi terbesar pada ekspor nonmigas juga naik hingga 15,96% mencapai US$ 9,66 miliar. Sedangkan ekspor pertambangan naik 13,59% dan ekspor migas hanya naik 3,8%.

Sementara meski kenaikan impor paling tinggi terjadi pada barang konsumsi mencapai 51,1%, impor bahan baku dan barang modal turut meningkat pada Juni dibandingkan Mei. Impor bahan baku/penolong naik 24,1% menjadi US$ 7,57 miliar, sedangkan barang modal naik 27,35% menjadi US$ 1,77 miliar. 

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menjelaskan kenaikan impor barang modal menandakan industri pengolahan yang mulai pulih seiring pelonggaran PSBB di berbagai daerah. Indikasi ini sebelumnya sudah terlihat dari data purchasing mangers index atau PMI manufaktur yang naik ke angka 39,1, meski masih masuk dalam fase kontraksi.

"Tren positif dari aktivitas manufaktur ini diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun, dengan asumsi bahwa penyebaran virus Covid-19 di Indonesia dapat dikendalikan," ujar Josua kepada Katadata.co.id.

Sementara kenaikan ekspor, menurut dia, memberikan indikasi awal pemulihan ekonomi negara mitra--mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok dan India. 

Meski mencatat positif, Josua menilai perkembangan kinerja ekspor dan impor dalam beberapa bulan ke depan masih diliputi ketidakpastian tergantung pada perkembangan kasus Covid-19 secara global. "Dengan masih rendahnya harga komoditas ekspor Indonesia, yang paling mungkin didorong oleh pemerintah sebenarnya adalah mengakselerasi permintaan dalam negeri," katanya. 

(Baca: Ekspor dan Impor Naik, Neraca Dagang Juni Surplus US$ 1,27 Miliar)

Komoditas yang bisa diintervensi pemerintah melalui permintaan ialah CPO dan batu bara. Intervensi untuk CPO dapat melalui percepatan implementasi biodiesel B40, sementara untuk intervensi di batu bara dapat melalui peningkatan kapasitas dari pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan batu bara. 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri bidang Perdagangan Benny Soetrisno  juga menilai surplus neraca dagang tersebut mencerminkan perbaikan ekonomi seiring pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"aktivitas orang kan lebih tinggi dibandingkan waktu PSBB ketat. Sekarang kita sudah terbiasa berhubungan dengan orang lain dan dengan pembeli," kata Benny saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (15/7).

Ia pun memperkirakan, kinerja neraca dagang akan terus membaik seiring dengan pelongaran PSBB dengan menerapkan protokol kesehatan. Peningkatan neraca dagang juga harus diikuti dengan kolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk memperdalam pasar ekspor di luar negeri.

(Baca: BI Ramal Kinerja Manufaktur Kuartal III Membaik Meski Masih Kontraksi)

Senada, Wakil Ketua Umum Asosasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani menilai peningkatan ekspor pada industri pengolahan pada Juni mencerminkan mulai berjalannya industri manufaktur di Tanah Air. "Hal ini juga merupakan sebuah sinyal positif bahwa di tengah pandemi global, industri manufaktur Indonesia tetap berjalan," katanya.

Shinta pun menilai, besar kemungkinan impor bahan baku dilakukan untuk menunjang perkembangan ekspor Indonesia, khususnya di industri pengolahan. Selain itu, peningkatan impor bahan baku/penolong dan barang modal merupakan dampak dari meningkatnya kebutuhan industri dan konsumsi domestik.

"Perlu ditingkatkan supaya pada akhir periode tahun 2020 kita bisa melihat angka yang positif," ujar dia.

Saat ini, kata dia, industri Tanah Air memang masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Namun, pemerintah dinilai tetap perlu berhati-hati terhadap peningkatan impor yang jauh lebih besar dari pertumbuhan ekspor.  Ia pun menilai kondisi saat ini dapat menjadi  waktu yang tepat bagi Indonesia untuk menggalakkan industri bahan baku di dalam negeri.

Survei yang dilakukan BI sebelumnya memperkirakan industri manufaktur akan membaik pada kuartal II, meski masih mengalami kontraksi atau berada di bawah level 50. Prediksi terkait subsektor yang masih akan terkontraksi atau sudah mengalami ekspansi dapat dilihat dalam databoks di bawah ini.

Nasib Kuartal III dan Ancaman Resesi

Meski data kinerja ekspor dan impor pada Juni yang dirilis hari ini membaik, pemerintah justru memasang proyeksi yang lebih pesimistis terhadap kinerja perekonomian di kuartal II 2020.

"Ini dari hitungan pagi tadi yang saya terima, kuartal kedua mungkin kita bisa minus ke 4,3%," ujar Jokowi saat memberi pengarahan kepada para gubernur se-Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/7) sebagaimana dikutip dari laman Setkab.go.id.

(Baca: Proyeksi Ekonomi Kuartal II Lebih Buruk, Jokowi: Bisa Minus 4,3%)

Namun, Jokowi tetap berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dapat kembali positif. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya memperkirakan ekonomi kuartal II minus 3,8% dan akumulasi semester I minus 1,1%, tetapi optimistis ekonomi semester II akan tumbuh positif antara 0,3% hingga 2,2%.

Dengan demikian, perekonomian secara keseluruhan diperkirakan berada di antara minus 0,4% hingga tumbuh 1%. 

Adapun Josua menilai kinerja ekspor impor terhadap pertumbuhan ekonomi belum akan signifikan pada kuartal III 2020. Perekonomian masih akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi. Untuk itu, pemerintah dinilai perlu fokus dalam penyerapan anggaran stimulus fiskal yang dapat menjaga agar tidak terjadi penurunan yang signifikan terhadap daya beli masyarakat.

"Pemerintah juga perlu mendorong percepatan realisasi stimulus bagi sisi produksi sehingga sebagian besar sektor ekonomi dapat lebih cepat pulih sehingga akan mendorong tren perbaikan kuartal III dan IV," ujarnya. 

Reporter: Rizky Alika