Jalan Panjang UU Ciptaker untuk Atasi Ekonomi Stagnan & Lapangan Kerja

Thampapon Otavorn/123rf
Ilustrasi. Pemerintah menyebut UU Cipta Kerja diperlukan untuk membuka lapangan kerja bagi 2,9 juta angkatan baru, 6,9 juta pengangguran, dan 3,5 juta pekerja terdampak Covid-19.
Penulis: Agustiyanti
12/10/2020, 17.25 WIB

Pemerintah berkali-kali menekankan Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR pada awal pekan lalu (5/10) penting untuk mendorong investasi. Omnibus Law diyakini akan menjadi terobosan untuk menyerap angkatan kerja baru dan mengatasi jutaan pengangguran di Indonesia.

Presiden Joko Widodo menjelaskan, Indonesia membutuhkan UU Cipta Kerja untuk mendorong reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi. Ini penting untuk meningkatkan investasi dan membuka lebih banyak lapangan kerja.

"Setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru yang masuk ke pasar kerja. Kebutuhan lapangan kerja sangat medesak. Apalagi akibat pandemi, terdapat 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak Covid-19," ujar Jokowi dalam pernyataan melalui konferensi video, Jumat (9/10).

Omnibus law, menurut Jokowi, juga akan memudahkan pembukaan usaha skala mikro dan kecil. Regulasi yang tumpang tindih dan rumit dipangkas. Pembentukan perseroan terbatas juga dipermudah, tak ada lagi pembatasan modal minimum.

Yang tak kalah penting, Jokowi menilai, UU sapu jagat itu dapat mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. "Karena dengan menyederhanakan, dengan memotong, dengan integrasi perizinan secara elektronik, maka pungutan liar dapat dihilangkan," katanya.

Hingga kini, pemerintah belum menerbitkan draf final UU Cipta Kerja yang telah diteken Jokowi di situs jaringan dokumentasi dan informasi hukum Sekretariat Negara maupun pada instansi pemerintah lainnya. Draf final juga belum dapat ditemukan pada situs DPR RI.

Sementara itu, draf UU Cipta Kerja yang diperoleh Katadata.id merupakan dokumen setebal 1.035 halaman yang memuat 13 bab dan 186 pasal. Secara garis besar, isi draf UU tersebut mencakup, klaster peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi, serta UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi.

Lalu investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategi nasional; pelaksanaan administrasi pemerintah untuk mendukung cipta kerja; serta pengawasan dan pembinaan perizinan berusaha. Terselip pula salah satu bagian terkait perpajakan dalam bab terkait kemudahan berusaha.

Akar Masalah di Balik Omnibus Law

Berbagai kemudahan diberikan pemerintah melalui UU Cipta Kerja kepada pengusaha untuk  berinvestasi. Jokowi selama ini mengeluhkan investasi yang tak mampu melaju dengan cepat.

Peringkat daya saing Indonesia melempem dalam beberapa tahun terakhir, jauh dari janji Joko Widodo di awal memimpin. Laporan Bank Dunia tentang kemudahan berbisnis di Indonesia atau Ease of Doing Business 2020 yang dirilis pada Oktober 2019 menunjukkan Indonesia masih berada pada peringkat ke-73 dari 190 negara.

Peringkat tersebut sama dengan posisi tahun lalu dan jauh dari taget yang dipatok Jokowi di akhir pemerintah periode pertama yakni berada peringkat ke-40.

Dalam laporan tersebut, Indonesia masih tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Ukiraina, Armenia, dan Uzbekistan. Meski berada pada peringkat yang sama, Indonesia sebenarnya mencatakan kenaikan skor dari 67,96 pada tahun lalu menjadi 69,6 poin.

Sementara peringkat daya saing Indonesia dalam laporan Global Competitiveness Indonesia 2019 yang dirilis World Economic Forum pada bulan yang sama turun ke posisi 50 dari posisi 45 pada tahun lalu. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6.

Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia makin tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi pertama. Demikian pula dari Malaysia dan Thailand yang sebenarnya juga turun masing-masing dua peringkat tetapi mash diposisi 27 dan 40. Sementara Vietnam melesat 10 peringkat ke posisi 60.

Perusahaan keuangan global, Morgan Stanley menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari puncaknya pada 2010 hingga 2012 yang mencapai 6% menjadi di kisaran 5% selama lima tahun terakhir.

Reformasi struktural tahap pertama yang diperkenalkan Presiden Joko Widodo pada 2014 berupa peningkatan belanja infrastruktur pemerintah menjadi 2% terhadap PDB tak menciptakan efek berantai yang signifikan pada perekonomian. 

"Sementara infrastruktur sudah berkembang, kami belum melihat dampaknya pada pertumbuhan ekonomi seperti efek berganda dari puncak kenaikan harga komoditas pada 2010-2012," kata Morgan Stanley dalam riset yang dirilis 6 Oktober. 

Upaya memacu investasi dengan berbagai kemudahan berusaha dan perizinan juga dilakukan melalui paket kebijakan ekonomi. Ada belasan paket kebijakan yang dibuat selama periode pertama pemerintahan Jokowi.

Namun, upaya itu tampaknya belum terlalu membuahkan hasil. Buktinya, aliran modal asing langsung atau FDI ke Indonesia belum meningkat secara signifikan.

Pada 2019, total FDI ke Indonesia tercatat sebesar US$ 28 miliar, turun 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan tak jauh berbeda dengan realisasi pada 2013. FDI hanya sempat menanjak mencapai US$ 32 miliar pada 2017.

Persentase FDI terhadap produk domestik bruto pun terus menurun dari puncaknya yang mencapai 3,2% pada 2014 menjadi 2,5% menjadi 2019. Hal ini membuat pemerintah fokus pada peningkatan FDI sebagai yang kedua tahap reformasi, salah satunya melalui penerbitan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Omnibus Law Cipta Kerja akan melengkapi tarif pajak perusahaan pemotongan pajak yang disahkan awal tahun ini," katanya.

Sisi Positif dan Negatif Omnibus Law

Pemerintah menargetkan Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia pada 2045 dengan tingkat kemiskinan ekstrim sebesar nol, pekerjaan berkualitas tinggi, dan PDB per kapita per bulanRp 27 juta per bulan.

Untuk mencapai target tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai 6% per tahun sehinga membutuhkan investasi baru Rp 4.800 triliun. " Mengingat kemampuan investasi dalam negeri yang terbatas, kami yakin Indonesia akan membutuhkan FDI dalam jumlah besar, dengan Omnibus Law Cipta Kerja sebagai solusinya," katanya. 

Untuk memenuhi target jangka pendeknya, pemerintah telah menargetkan untuk menampung relokasi investasi dari Tiongkok BKPM telah mengindikasikan tujuh perusahaan yang berencana memindahkan bisnis dari Tiongkok ke Indonesia dengan nilai investasi mencapai US$ 850 juta dan berpotensi membuka 30 ribu lapangan kerja.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada September lalu juga  menargetkan 143 investor asing akan merelokasi bisnis ke Indonesia dan mampu membuka 300 ribu lapangan kerja. Sebagian besar saat ini memiliki bisnis di Tiongkok.

Dengan kondisi tersebut, Morgan Stanley pun memperkirakan omnibus law  berpotensi membalikkan tren pada ekonomi Indonesia dari kontraksi pada tahun ini ke pertumbuhan yang jauh lebih baik pada tahun depan. Lembaga tersebut bahkan menyebut Indonesia berpotensi menjadi 'anak emas' di antara negara yang ekonominya akan pulih dengan cepat.

"Kami perkirakan omnibus law akan berdampak langsung pada sektor properti, kawasan industri;, teknologi, industri padat karya seperti tekstil dan tembakau, infrastruktur dan perbankan," ujarnya. 

Lembaga Pemeringkat Utang Global Moodys juga memperkirakan perbaikan pada iklim bisnis pada UU Cipta Kerja akan mendorong investasi masuk ke Indonesia baik dari dalam negeri maupun asing. Hal ini dapat membantu Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai dengan potensinya.

Moodys memperkirakan beragam insentif pajak yang diberikan pemerintah melalui UU Cipta Kerja maupun pemotongan PPh Badan melalui UU Nomor 2 tahun 2020 dapat menggerus penerimaan negara. Namun, efek positifnya pada peningkatan  basis pajak akan terjadi secara bertahap. 

Lembaga tersebut juga mengingatkan relaksasi pada pengaturan terkait Analisis Dampak Lingkungan dan kelonggaran pada pembatasan pembukaan lahan gambut pada perkebunan sawit akan menahan investasi asing dari negara-negara yang memiliki konsen terhadap ekonomi berkelanjutan.

Namun, Jokowi menjelaskan, relaksasi terkait analisis mengenai dampak lingkungan hanya diberikan pada UMKM. Industri besar tetap harus melaksanakan studi Amdal secara ketat.

Menurut Jokowi,  penolakan Omnibus Law Cipta Kerja oleh berbagai elemen masyarakat dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi undang-undang tersebut. Ia mencontohkan, informasi terkait penghapusan upah minimum provinsi.

"Hal ini tidak benar, faktanya upah minimum regional atau UMR tidak benar. Ada juga yang menyebutkan upah minimum per jam, tidak benar. Upah dihitung berdasarkan waktu dan hasil," ujarnya.

Ia juga menegaskan cuti melahirkan, menikah, khitanan, baptis, kematian, hingga haid bagi wanita tetap ada dan dijamin."Perusahaan tidak benar bisa melakukan PHK secara sepihak. Jaminan dan kesejahteraan lainnya juga tidak hilang, tetap ada," katanya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan target pertumbuhan ekonomi pada tahun depan sebesar 5% antara lain akan didorong oleh investasi. Untuk itu, iklim investasi Indonesia dibuat senyaman mungkin untuk menarik investor agar pemulihan ekonomi lebih cepat melalui Omnibus Law Cipta Kerja. 

Omnibus law Cipta Kerja diharapkan membantu dunia usaha di tengah masa sulit Pandemi Covid-19. Namun, Sri Mulyani menekankan, pemulihan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada penanganan Covid-19. Semakin pertambahan kasus di Indonesia dapat ditahan, makin cepat pula perekonomian membaik.

Sementara itu, ekonom Faisal Basri menilai landasan pemerintah menerbitkan omnibus law keliru karena investasi Indonesia selama ini tumbuh cukup tinggi. Menurut dia, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi dibandingkan Tiongkok, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brazil serta hampir sama dengan India. Hanya Vietnam yang pertumbuhan investasinya lebih tinggi dari Indonesia.

Investasi yang dimaksud Faisal adalah pembentukan modal tetap bruto yang berwujud investasi fisik dan merupakan salah satu komponen dalam produk domestik bruto

"Presiden keliru mengatakan investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan “tidak nendang”. Alasan keliru ini membuat Presiden mencari jalan pintas dengan mengajukan Omnibus Law Cipta Kerja," kata Faisal dalam opini yang ditulis melalui situs pribadinya, Jumat (9/10).

Menurut dia, masalah paling mendasar dalam perekonomian Indonesia sebenarnya adalah investasi besar dengan hasil investasi kecil. Kondisi ini yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi bertengger di angka 5%.