UU Cipta Kerja Tanpa Upah Minimum Sektoral Obati Kepusingan Pengusaha
Pemerintah menghapus ketentuan upah minimum sektoral melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Pengusaha menilai ketentuan berlapis ini tak perlu, sebab sudah ada upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Anggota Tim Perumus Omnibus Law Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aloysius Budi Santoso menilai, ketentuan upah sektoral selama ini memusingkan. Sebab, selain UMP dan UMK, ada juga Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK)
"Selama ini kita sebagai pengusaha agak pusing karena selama ini negosiasi dagang sapi," kata dia dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (9/10).
Aloysius juga menyebutkan, pengusaha telah meminta pemerintah untuk mengubah ketentuan UU 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan sejak 4 tahun lalu, namun hal ini sulit dilakukan.
Ia pun mengatakan, saat ini ketentuan upah sektoral dapat dilakukan melalui ruang bipartite antara pengusaha dan buruh. Hal ini dinilai baik lantaran masing-masing industri memiliki kemampuan yang berbeda-beda, seperti industri otomotif yang terdiri dari pabrik besar hingga pabrik komponen yang lebih kecil.
Sebelumnya, pengaturan tentang upah minimum berdasarkan sektor sebelumnya diatur dalam Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, UU Cipta Kerja melalui Pasal 81 poin 26 menyebutkan penghapusan ketentuan Pasal 89.
Selanjutnya, pasal 90A UU Cipta Kerja menyebutkan, upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.
Aloysius pun menambahkan, pengusaha juga tetap memberikan upah kepada pekerja yang cuti haid. "Di UU Cipta Kerja tidak dicantumkan, berarti pasal di UU Ketenagakerjaan masih berlaku," ujar dia.
Ia pun menilai, adanya kekeliruan pemahaman di masyarakat terjadi karena publik belum memahami konsep UU Cipta Kerja secara detail. Selain itu, masih ada sejumlah aturan turunan yang belum diterbitkan untuk memperjelas ketentuan UU sapu jagat tersebut.
Bagaimanapun, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, penhapusan UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab, ia memperkirakan sektor otomotif atau sektor pertambangan akan memiliki nilai upah minimum yang sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.
"Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) negara," ujar dia.
Para buruh pun khawatir upah yang diterima akan turun. Dalam aturan sebelumnya, Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum menyebutkan, UMSP harus lebih besar dari UMP, sementara UMSK harus lebih besar dari UMK.
Adapun, buruh menginginkan UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).
KSPI pun juga menyoroti UMK yang ditetapkan bersyarat serta diatur kemudian adalah pemerintah. Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah.
"Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat," ujar dia.
Fakta yang lain, UU Cipta Kerja yang wajib ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Menurutnya, hal ini makin menegaskan kekhawatiran buruh bahwa UMK hendak dihilangkan karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan.