Kinerja Ekspor RI yang Terkerek Kebangkitan Ekonomi Tiongkok

123RF.com/Cheangchai Noojuntuk
Ilustrasi. Ekspor pada September naik 6,97% dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai USS$ 2,13 miliar, sedangkan impor naik 7,7% menjadi US$ 11,57 miliar.
Penulis: Agustiyanti
15/10/2020, 20.06 WIB

Kabar menggembirakan datang dari kinerja ekspor dan impor pada September yang meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Ekspor naik 6,97% dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai USS$ 2,13 miliar, sedangkan impor naik 7,7% menjadi US$ 11,57 miliar.

"September ini berita gembiranya adalah ekspor kita naik dibanding bulan lalu dan dibanding tahun lalu turunnya sudah tipis," ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Kamis (15/10).

Ekspor pada September masih turun tipis 0,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun kinerja ini masih lebih baik dibandingkan impor yang anjlok US$ 18,88 miliar.

Berdasarkan golongan barang HS dua digit, kenaikan ekspor paling tinggi terjadi besi dan baja yang meningkat US$ 266 juta atau 32,5% dibanding bulan sebelumnya. Ekspor produk ini terutama tertuju ke Tiongkok, Hong Kong, dan Korea Selatan.

"Lemak dan minyak hewan nabati juga mengalami kenaikan ekspor US% 198,5 juta. Negara tujuan ekspor ini adalah Tiongkok, India, dan Pakistan," katanya.

Kenaikan juga terjadi pada golongan barang kendaraan dan bagiannya, mesin dan peralatan elektrik, serta plastik.

Suhariyanto menjelaskan ekspor nonmigas untuk Tiongkok naik paling tinggi mencapai US$ 163,3 juta. Disusul India sebesar US$ 120,6 juta, Jepang sebesar US$ 79,6 juta, Amerika Serikat sebesar US$ 66,8 juta, dan Malaysia US$ 66,4 juta. Sementara penurunan ekspor terjadi untuk tujuan Swiss, Hong Kong, Inggris, Singapura dan Kamboja.

"Ekspor utama kita ke September untuk nonmigas paling besar masih tertuju ke Tiongkok sebesar US% 2,63 iliar atau 19,75% dari total ekspor," katanya.

Pangsa pasar ekspor nonmigas terbesar kedua adalah AS yang mencapai US$ 1,69 miliar dan mengambil porsi sebesar 12,68%. Disusul Jepang sebesar US$ 1,06 miliar atau 7,98%. Sementara itu, ekspor ke seluruh negara ASEAN mencapai US$ 2,78 miliar atau mencapai 20,86% dari total ekspor nonmigas Indonesia.

Tak berbeda jauh dengan kondisi ekspor, impor Indonesia pada September masih didominasi dari Tiongkok mencapai US$ 3,51 miliar atau 33,73% dari total impor nonmigas. Disusul Jepang sebesar 0,77 miliar atau 7,38% dan Singapura O,62 miliar atau 5,94%. Namun, kenaikan impor paling tinggi dibandingkan Agustus berasal dari Jepang mencapai US$ 208,3 juta, Korea Selatan US$ 150,5 juta, Tiongkok US$ 148,6 juta, dan Ukraina US$ 77,5 juta.

Berdasarkan golongan barang HS dua digit, kenaikan impor didorong oleh mesin dan peralatan mekanis naik 104,2 juta, besi dan baja sebesar US$ 84,4 juta, serta mesin dan peralatan listrik US$ 81,5 juta.

Neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok, menurut Suhariyanto, kembali mencatatkan defisit sebesar US$ 879,2 juta. Defisit juga terjadi pada perdagangan Ukraina sebesar US$ 140,1 juta dan Brasil US$ 119 juta.

Ekonomi Tiongkok yang Bangkit

Kinerja ekspor dan impor yang membaik di September tak lepas dari pemulihan ekonomi yang berlangsung cepat di Tiongkok. Mengutip Reuters, impor Tiongkok pada September tumbuh dengan laju tercepat pada tahun ini mencapai 13,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, berbalik dari kondisi Agustus yang turun 2,1%.

"Lonjakan impor menunjukkan bahwa investasi di dalam negeri kuat," ujar Capital Economics Senior China Economist Julian Evans-Pritchard.

Catatan penting lainnya dari perekonomian Negara Tembok Raksasa ini adalah ekspor yang tetap kuat di tengah berkurangnya permintaan barang untuk penanganan Covid-19 seperti masker.

Aktivitas pabrik Tiongkok juga meningkat karena perdagangan internasional secara bertahap dimulai kembali. Permintaan barang-barang konsumsi lainnya menanjak dari berbagai penjuru dunia.

Ekonomi Tiongkok pada kuartal III diproyeksi tumbuh lebih baik dibandingkan kuartal II. (ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song/hp/cf)

Kendati demikian, beberapa analis memperingatkan ekspor mungkin sudah mencapai puncak kenaikan seiring permintaan untuk alat pelindung Covid-19 buatan Tiongkok yang mulai surut dan efek dasar dari penurunan besar-besaran tahun ini menghilang. Berdasarkan data Bea Cukai Tiongkok, ekspor pada September naik 9,9%.

Kepala Ekonom di Zhongyuan Bank, Wang Jun mengatakan data menunjukkan dukungan pemerintah telah meningkat ekonomi, terutama seiring epidemi mulai terkendali.

"Ini telah meningkatkan permintaan domestik, terutama permintaan yang didorong oleh investasi, yang mendukung impor," kata Wang.

Bank Sentral Tiongkok memperkirakan ekonomi pada kuartal tiga akan tumbuh lebih baik dibandingkan kuartal II yang mencapai 3,2%.

Berbagai lembaga internasional pun merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk tahun ini dalam laporan terbaru mereka dari proyeksi yang dibuat pertengahan 2020. Bank Dunia misalnya, mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari hanya tumbuh 1% menjadi 2%, IMF menaikkan dari tumbuh 0,9% menjadi 2%, sedangkan OECD memproyeksi ekonomi Tiongkok tumbuh 1,8% dari sebelumnya kontraksi 3,2%.

Prospek Surplus Hingga Akhir Tahun

Surplus neraca perdagangan Indonesia pada September menggenapi lima bulan surplus secara berturut-turut. Secara kumulatif Januari-September 2020, surplus neraca perdagangan telah mencapai US$ 13,51 miliar.

Berkat surplus besar pada neraca perdagangan, Bank Indonesia memproyeksi neraca berjalan yang telah defisit sejak 2012 surplus untuk pertama kalinya pada kuartal tiga. Neraca pembayaran juga diperkirakan akan mencatatkan surplus.

Direktur Riset Core Indonesia Pitter Abdullah menjelaskan, pertumbuhan ekspor pada September terutama didorong oleh kenaikan harga komoditas, terutama CPO. Kenaikan harga tercipta berkat mulai membaiknya permintaan global karena perekonomian Tiongkok yang sudah mulai bangkit.

"Sementara pertumbuhan impor didorong oleh mulai menggeliatnya industri ketika PSBB dilonggarkan," ujarnya.

Surplus neraca perdagangan, menurut Pitter, mengindikasikan ekonomi Indonesia yang masi mampu bertahan di tengah pandemi. Surplus yang terjadi lima bulan berturut-turut membantu memperbaiki transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah.

"Selama pandemi masih berlangsung dan aktivitas industri terbatas, neraca perdagangan tetap berpeluang surplus," katanya.

Kepala Ekonom Bank Mandiir Andry Asmoro memperkirakan kontraksi pada impor akan kembali terjadi di tiga bulan terakhir pada tahun ini.  Meski Jakarta telah kembali menerapkan PSBB transisi dan pemerintah berencana untuk mulai memberikan vaksin Covid-19 pada November, permintaan domestik kemungkinan besar masih  lemah dan berada di bawah kondisi sebelum pandemi. 

"Ini memaksa pelaku usaha untuk tetap menunda sebagian kegiatan investasi dan produksinya," ujar Andry dalam riset yang dirilis Bank Mandiri. 

Di sisi lain, permintaan negara tujuan ekspor utama Indonesia meningkat signifikan setelah pelonggaran lockdown. Harga komoditas global menunjukkan tren yang meningkat sehingga dapat mendukung ekspor.

"Potensi risiko ekspor berasal dari kemungkinan pandemi Covid-19 gelombang kedua, yang menghambat kemajuan pemulihan global," katanya. 

Berlanjutnya kenaikan ekspor akan mempersempit defisit transaksi berjalan tahun ini. Hal ini memberikan katalis positif bagi neraca pembayaran secara keseluruhan.

Andry memperkirakan neraca berjalan akan surplus mencapai 0,7% hingga 0,8% terhadap PDB, pertama kali sejak kuartal III 2011. Sementara sepanjang tahun ini, transaksi berjalan diperkirakan defisit 1,49% terhadap, lebih rendah dibandingkan 2019 yang mencapai 2,72% terhadap PDB.