Bertaburnya Insentif Pajak dalam UU Cipta Kerja yang Diteken Jokowi

ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/aww.
Ilustrasi. UU Cipta Kerja merevisi aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah.
3/11/2020, 13.16 WIB

Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Undang-Undang Omnimbus Law Cipta Kerja pada Selasa (2/11). Aturan sapu jagat ini antara lain merevisi  empat undang-undang terkait perpajakan. 

Keempat UU yang direvisi, yakni aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah. Revisi UU PPh terletak pada BAB IV Kemudahan Berusaha Bagian Ketujuh pasal 111 yang mengatur perubahan untuk ketentuan subjek pajak luar negeri.

Warga Negara Asing yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan akan menjadi subjek pajak luar negeri. Sedangkan, Warga Negara Indonesia yang berada di luar Tanah Air dalam periode lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta memenuhi beberapa persayaratan juga akan menjadi subjek pajak luar negeri.

Kemudian, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia juga akan menjadi subjek pajak luar negeri. Hal tersebut berlaku pula untuk badan yang memperoleh penghasilan dari Indonesia meski tidak menjalankan usaha tetap di RI.

Selain mengatur subjek pajak, pemerintah memberikan pengecualian kepada sejumlah objek pajak. Pembebasan PPh diberikan kepada WNA yang memiliki keahlian tertentu selama empat tahun terhitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri.

PPh untuk dividen dari dalam maupun luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia juga turut dikecualikan dari objek pajak. Namun, khusus dividen dari luar negeri, penghapusan pajak dilakukan jika investasi paling sedikit mencapai 30% dari laba setelah pajak dan berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tak diperdagangkan di BEI.

Terkait UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah mengubah sanksi administrasi atas keterlambatan pembetulan dan penyetoran pajak dari sebesar 2% per bulan menjadi suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah 5% dibagi 12 bulan. Di sisi lain, ketentuan imbalan bunga atas keterlambatan pembayaran pengembalian pajak yang harus dibayar pemerintah juga diturunkan dari 2% per bulan menjadi suku bunga acuan dibagi 12 bulan.

Denda yang lebih ringan juga diberikan pemerintah pada ketentuan terkait pasal penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.  Mengenai pajak dan retribusi daerah, pemerintah menyelipkan satu bab terkait kebijakan fiskal nasional yang berisi pemerintah pusat dapat melakukan penyesuaian kebijakan sesuai dengan program prioritas nasional.

Kemudian, menteri keuangan akan memiliki kekuasaan untuk mengevaluasi baik rancangan peraturan daerah dan perda yang sudah ada. Hasil evaluasi yang dilakukan menteri keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan raperda.

Jika pemerintah daerah masih memberlakukan peraturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yang telah dicabut oleh presiden, akan dikenai sanksi penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil bagi daerah bersangkutan.

Sementara itu, revisi dalam UU PPN dan PPnBM, mencakup pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambialalihan usaha, serta pengalihan untuk setoran modal pengganti saham. Kemudian pengkreditan barang dan/atau jasa dan/atau ekspor kena pajak, pajak masukan atas perolehan barang kena pajak, ompor barang kena pajak, serta pemanfaatan barang kena pajak di luar dan dalam daerah pabean.

Pengamat Pajak Institute For Development of Economics and Finance Nailul Huda mengatakan reformasi perpajakan yang ada dalam UU Cipta Kerja memang diciptakan sebagai karpet merah bagi perusahaan. Hal ini tercermin dari berbagai keringanan yang diberikan dalam beleid itu. Salah satunya, keringanan bagi para pengemplang pajak.

"Dimana sanksi lebih rendah dari peraturan sebelumnya," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Selasa (3/11).

Dengan demikian, dia memperkirakan penerimaan negara secara umum pasti akan menurun drastis. Sebelum ada pandemi pun, kinerja penerimaan negara sudah menurun. Salah satu indikatornya terlihat dari rasio perpajakan atau tax ratio yang terus melorot.

Bagi penerimaan daerah, UU Cipta Kerja menurut ia bagaikan aturan pencabut kewenangan daerah dalam menentukan pajak dan retribusi daerah masing-masing. Pemerintah daerah bisa diintervensi demi investasi. "Jadi penerimaan daerah akan menurun tajam juga demi investasi dan ego pemerintah pusat," ujar dia.

Reporter: Agatha Olivia Victoria