Penerimaan Pajak Makin Turun, Defisit APBN per Oktober Rp 765 Triliun

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut penerimaan pajak hingga Oktober, antara lain tertekan oleh beragam insentif yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha.
23/11/2020, 17.52 WIB

Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mencapai Rp 764,9 triliun hingga Oktober 2020. Defisit terjadi akibat penerimaan pajak yang anjlok 18,8%, kian tertekan akibat berbagai kucuran insentif pemerintah di tengah pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi defisit anggaran tersebut telah mencapai 4,67% terhadap Produk Domestik Bruto. Namun, masih berada di bawah target yang dipatok pemerintah hingga akhir tahun Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% terhadap PDB. 

"Defisit APBN 2020 masih cukup baik jika dibandingkan negara lain. APBN melaksanakan fungsinya secara countercyclical," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KITA Edisi November 2020, Senin (23/11).

Secara perinci, realisasi pendapatan negara tercatat Rp 1.276,9 triliun, turun 15,4% dari Rp 1.508,5 triliun. Pemasukan negara terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 991 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp 278,8 triliun, dan penerimaan hibah Rp 1,3 triliun.

Penerimaan perpajakan turun 15,6% dari Rp 1.173,9 triliun. Ini terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp 826,9 triliun yang  turun 18,8% dibandingkan Oktober 2019 dan penerimaan bea dan cukai yang masih meningkay 5,5% menjadi Rp 208,8 triliun. PNBP, turun 16,3% dari Rp 333,3 triliun, sedangkan penerimaan hibah melesat 439,7% dari Rp 400 miliar.

"Berbagai jenis pajak tertekan karena adanya pemanfaatan insentif pajak kepada seluruh perekonomian," ujar Sri Mulyani.

Di sisi lain, belanja negara telah mencapai Rp 2.041,8 triliun, naik 13,6% dari realiasasi periode yang sama tahun lalu yaitu Rp 1.797,7 triliun. Pengeluaran pemerintah itu terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.343,8 triliun dan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa Rp 698 triliun.

Belanja pemerintah pusat tumbuh 19,9% dari Rp 1.120,8 triliun. Ini terdiri atas belanja kementerian/lembaga Rp 836,4 triliun, naik 14,6% dari Rp 633,4 triliun dan belanja non k/l Rp 1.138,9 triliun, tumbuh 26,8% Rp 487,5 triliun.

Sementara itu, TKDD naik 3,1% dari Rp 676,9 triliun yang merupakan transfer ke daerah Rp 637,5 triliun, naik 2% dari Rp 624,9 triliun dan dana desa Rp 71,2 triliun, tumbuh 31% dari Rp 46,2 triliun.

Dengan realiasi defisit tersebut pembiayaan anggaran telah mencapai Rp 928,4 triliun, naik 143% dari Rp 382 triliun. Angka tersebut mencapai 89,3% dari target defisit anggaran tahun ini.

Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet memperkirakan ada potensi pelebaran defisit anggaran dari target tahun 2020. "Ini disebabkan oleh kemungkinan melesetnya target penerimaan perpajakan," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Senin (23/11).

Dia pun memproyeksi pelebaran defisit anggaran akan berada pada rentang Rp 1.100 hingga Rp 1.150 triliun. Hal tersebut juga terjadi apabila belanja Program Ekonomi Nasional terealisasi penuh.

Realisasi anggaran PEN per 9 November 2020 baru mencapai Rp 383,01 triliun, atau 55,1% dari pagu Rp 695,2 triliun. Realisasi PEN itu terdiri dari anggaran kesehatan Rp 34,07 triliun, perlindungan sosial Rp 181,11 triliun, sektoral k/l & pemda Rp 32,47 triliun, dukungan UMKM Rp 95,23 triliun, insentif usaha Rp 38,13 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp 2,001 triliun.

Sementara pos insentif dunia usaha baru mencapai 31,6% dari pagu Rp 120,6 triliun. Capaian itu meliputi PPh 21 DTP Rp 2,51 triliun, pembebasan PPh 2 Impor Rp 9,1 triliun, dan pengurangan angsuran PPh 25 Rp 13,73 triliun. Pengembalian pendahuluan PPN sebesar Rp 3,57 triliun dan penurunan tarif PPh Badan Rp 9,21 triliun.

Reporter: Agatha Olivia Victoria