Rupiah Perkasa di Rp 13.972 Didorong Data Inflasi AS yang Lemah

Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Nilai tukar rupiah dan dolar
11/2/2021, 18.25 WIB

Nilai tukar rupiah menguat 0,07% ke level Rp 13.972 per US$ pada pasar spot sore ini, Kamis (11/2). Kurs mata uang Garuda meningkat menjelang libur panjang perayaan Imlek akibat data indeks harga konsumen atau inflasi inti Amerika Serikat (AS) yang masih lemah.

Rupiah mengawali pagi ini dengan melemah tipis 0,02% ke level Rp 13.985 per US$ di pasar spot. Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan, mata uang Garuda berbalik menguat didorong data inflasi inti AS Januari 2021.

"Data inflasi inti AS Januari 2021 tidak mengalami pertumbuhan. Ini menekan dolar AS," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis (11/2).

Departemen Tenaga Kerja Negeri Paman Sam melaporkan inflasi inti AS hanya sebesar 0,3% pada Januari 2021, relatif tak bergerak dari level 0,2% pada bulan sebelumnya. Sedangkan inflasi inti secara tahunan hanya sebesar 1,4% atau lebih rendah dari Desember 2020 sebesar 1,6%.

Di sisi lain, Ariston menilai bahwa kasus Covid-19 yang mulai menurun di dunia dan di dalam negeri juga memperkuat rupiah. Pertambahan kasus virus corona di Indonesia mulai menurun pada Rabu (10/2) yakni hanya 8.776 menjadi 1.183.555.

Dia menyebutkan, optimisme pasar terhadap stimulus besar AS turut menjadi sentimen positif. Sentimen tersebut mempengaruhi penguatan rupiah sebesar 0,23% pada pasar spot satu pekan ini.

Proposal stimulus fiskal sudah disetujui DPR (House of Representatives) AS dan tinggal mendapatkan persetujuan dari Senat. Proposal stimulus diperkirakan akan mudah mendapatkan persetujuan dari Senat karena mayoritas diisi oleh Partai Demokrat yang merupakan partai pemerintah.

Sementara itu Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim memperkirakan nilai tukar rupiah bisa melanjutkan penguatannya pada perdagangan pekan depan. "Penguatan di rentang Rp 13.950-13.990 per dolar AS," kata Ibrahim dalam hasil kajiannya.

Penguatan tersebut kemungkinan didorong oleh Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,5% pada rapat dewan gubernur (RDG) pekan depan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah kinerja pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan dan perlu upaya ekstra untuk mendorong perekonomian agar bisa tumbuh lebih cepat.

Saat suku bunga rendah, kata Ibrahim, pengusaha dan rumah tangga akan terangsang untuk mengambil kredit sehingga akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Faktor lainnya, tekanan inflasi dalam negeri yang juga sangat minim.

Badan Pusat Statistik melaporkan, terjadi inflasi sebesar 0,26% secara bulanan dan 1,55% secara tahunan pada bulan lalu, melambat dibandingkan Desember 2020 yaitu 0,45% dan 1,68%. Sedangkan, Ibrahim memproyeksikan inflasi Februari 2021 hanya 0,01% dan 1,25%.

Di samping inflasi, nilai tukar mata uang rupiah saat ini relatif stabil bahkan cenderung menguat. "Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi perlu ada pendorong yang pasti terutama dari otoritas moneter di tengah risiko kasus Covid-19 yang masih tinggi sehingga bisa mengganggu normalisasi ekonomi," ujarnya.

Selain rupiah, mayoritas mata uang Asia juga menguat. Mengutip Bloomberg, dolar Singapura menguat 0,11%, won Korea Selatan 0,27%, rupee India 0,11%, ringgit Malaysia 0,06%, dan baht Thailand 0,04%. Sementara dolar Hong Kong melemah tipis 0,01%, dolar Taiwan 0,03%, peso Filipina 0,02%, dan yuan Tiongkok 0,36%.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah melemah 0,16% ke level Rp 14.011 per US$ dibandingkan level kemarin yakni Rp 13.989 per US$. Bank Indonesia (BI) mengumumkan kurs tersebut setiap hari pukul 10.00 WIB.

Reporter: Agatha Olivia Victoria