Atasi Ketimpangan, Pemerintah Bangun Pusat-Pusat Ekonomi di Luar Jawa

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.
Ilustrasi. Mayoritas atau 58,75% perekonomian Indonesia berada di Jawa pada 2020.
16/6/2021, 16.40 WIB

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas mengarahkan kebijakan pembangunan wilayah pada tahun 2022 untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengatasi ketimpangan antarwilayah.

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengatakan kondisi kesenjangan di Tanah Air mengkhawatirkan. "Ini perlu jadi perhatian dan masuk dalam prioritas nasional 2022," kata Rudy rapat bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (16/6).

Ia menjelaskan bahwa pengembangan wilayah pada tahun depan akan berfokus pada upaya-upaya mempercepat pemulihan dampak pandemi dan mengoptimalkan keunggulan kompetitif wilayah. Kemudian, melanjutkan transformasi sosial ekonomi untuk meningkatkan rantai produksi dan rantai nilai daerah, serta meningkatkan pemerataan kualitas hidup antarwilayah.

Rudy mengatakan, seluruh upaya tersebut akan dilaksanakan guna meningkatkan tujuh program prioritas. "Ketujuh program tersebut yakni program prioritas pembangunan di wilayah Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua," ujar dia.

Selain itu, ia menuturkan bahwa terdapat sasaran, indikator, dan target prioritas nasional terhadap dua kawasan di Indonesia yakni Timur dan Barat pada tahun depan. Hal tersebut, menurut dia, bertujuan agar pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa tumbuh. 

Di Kawasan Timur Indonesia, Rudy menyampaikan laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dipatok 5,78-6,53%. Sedangkan indeks pembangunan manusia (IPM) 62,06-78,12 dan persentase penduduk miskin 10,97%.

Sementara di Kawasan Barat Indonesia, target PDRB yakni 4,99-5,68% dengan IPM 70,53-82,99. Adapun target persentase penduduk miskin adalah 8,64% pada 2022.

Kue ekonomi Indonesia selama ini masih terpusat di Jawa ketimbang wilayah lain di Tanah Air. Hal ini terlihat dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 58,75% berada di Jawa pada 2020. Adapun sisanya tersebar di berbagai wilayah lainnya, seperti Sumatera (21,36%), Kalimantan (7,94%), Sulawesi (6,66%), Bali dan Nusa Tenggara (2,94%), serta maluku dan Papua (2,35%).

Ketimpangan ekonomi antarwilayah juga bisa dilihat dari kondisi simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga (DPK) bank yang mencapai Rp 6.355,7 triliun per Januari 2021. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4.935 triliun atau 78% berada di Jawa. Sisanya tersebar di Sumatera sebesar Rp 705,9 triliun (11,1%), Kalimantan Rp 265,3 triliun (4,1%), Sulawesi Rp 192,7 triliun (3%), Bali dan Nusa Tenggara Rp 170,1 triliun, serta Maluku dan Papua Barat Rp 85,7 triliun (1,3%).

Kondisi tersebut terjadi lantaran arus perdagangan di dalam negeri sebagian besar ada di Jawa. Hal itu mengingat kawasan industri lebih banyak berada di pulau tersebut ketimbang wilayah lainnya.

Selain itu, pembangunan infrastruktur belum merata dan masih berpusat di Jawa. Padahal, pembangunan infrastruktur punya peran besar dalam menggerakkan perekonomian.

Berdasarkan riset Royhan Faradis dan Uswatun Nurul Afifah yang dipublikasikan di Jurnal Pembangunan Ekonomi Indonesia (JEPI) Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2020, rata-rata provinsi di Jawa punya nilai indeks komposit pembangunan infrastruktur positif. Hanya Jawa Timur yang skor indeks komposit pembangunan infrastrukturnya -0,015.

Sebaliknya, rata-rata provinsi di luar Jawa punya indeks komposit pembangunan infrastruktur yang negatif. Hanya Bali yang punya indeks komposit pembangunan infrastruktur positif, yakni 0,369.

Dalam indeks tersebut, provinsi dengan nilai di atas 0 memiliki ketersediaan infrastruktur di atas rata-rata nasional. Sementara, jika suatu provinsi memiliki nilai indeks di bawah 0, maka ketersediaan infrastrukturnya di bawah rata-rata nasional.

Reporter: Agatha Olivia Victoria