Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengusulkan agar Indonesia bisa meminta bantuan negara lain untuk menagih kewajiban wajib pajak (WP) di luar negeri. Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Suryo menyebutkan saat ini belum ada klausul atau ketentuan khusus di Tanah Air yang memperbolehkan hal tersebut. "Karena keterbatasan itu maka kami mencoba mengusulkan," kata Suryo dalam Rapat Panitia Kerja KUP bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (5/7).
Indonesia saat ini sudah menandatangani 13 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dengan demikian, bantuan penagihan pajak bisa dilakukan jika diperkuat dengan aturan hukum dalam negeri.
Suryo menjelaskan, 13 P3B yang telah memuat bantuan penagihan pajak antara lain P3B Indonesia dengan Aljazair, Amerika Serikat (AS), Armenia, Belanda, dan Belgia. Kemudian, Fillipina, India, Laos, Mesir Suriname, Yordania, Venezuela, serta Vietnam.
Di samping itu, pemerintah telah meneken perjanjian Mutual Administrative Assistance Convention in Tax Matter (MAC) dengan 141 negara. Di mana, sebanyak 46 negara mitra telah setuju untuk saling membantu penagihan melalui MAC.
Untuk itu, Suryo mengatakan aturan tersebut dituangkan dalam RUU KUP. Dalam pasal 20A ditetapkan, Ditjen Pajak diberi kewenangan untuk melaksanakan bantuan penagihan kepada negara mitra, maupun meminta bantuan penagihan pajak kepada negara mitra secara resiprokal (berbalas).
Bantuan penagihan, menurut dia, akan dilaksanakan sesuai Undang-undang (UU) Penagihan Pajak dan Surat Paksa. Adapun pengaturan lebih lanjut akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. "Jadi ada dua UU yang kami coba relasikan dalam KUP ini," katanya.
Saat ini banyak negara tengah berjibaku mereformasi sistem perpajakannya guna menambal defisit anggaran. Ini terjadi sebagai dampak dari belanja negara yang berlebih untuk penanganan pandemi Covid-19. Kelompok negara kaya G-7 misalnya, baru saja mencapai kesepakatan penting awal Juni 2021 terkait penerapan pajak global minimum terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Google, Facebook, Apple, dan Amazon.
Grup negara yang terdiri dari AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang ini mendukung tarif pajak global minimum sebesar 15%. Perusahaan juga harus membayar lebih banyak pajak di negara tempat mereka melakukan penjualan.
Langkah tersebut mampu mengumpulkan ratusan miliar dolar untuk membantu pemerintah mengatasi dampak Covid-19. "Para menteri keuangan G7 telah mencapai kesepakatan bersejarah untuk mereformasi sistem pajak global agar sesuai dengan era digital," kata Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak setelah memimpin pertemuan dua hari di London, dilansir dari Reuters.
Pertemuan tatap muka tersebut menjadi yang perdana digelar para menteri keuangan sejak awal pandemi tahun lalu. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, komitmen signifikan dan belum pernah terjadi akan mengakhiri persaingan tarif pajak rendah.
Sementara itu, Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz menilai kesepakatan bakal menjadi berita buruk bagi surga pajak (tax haven) di seluruh dunia. "Perusahaan tidak akan lagi berada dalam posisi untuk menghindari kewajiban pajak dengan membukukan keuntungan di negara-negara yang memiliki tari pajak rendah," kata Scholz.
Beberapa negara kaya telah berjuang bertahun-tahun untuk menyetujui upaya meningkatkan pendapatan negara dari perusahaan multinasional raksasa. Mengingat, kebanyakan perusahaan raksasa menyetorkan pajaknya lebih rendah dibandingkan hasil yang mereka peroleh dari penjualan di seluruh dunia.
Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden sempat mengusulkan tarif pajak untuk perusahaan global, minimum 15%. Level tarif tersebut berada di atas tarif negara-negara seperti Irlandia, namun masih di bawah level terendah di antara negara anggota G-7.
Terkait rencana tersebut, Amazon dan Google diketahui menyambut baik perjanjian tersebut. Sedangkan Facebook melihat kemungkinan untuk membayar lebih banyak pajak.