Pemerintah membebaskan penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Layanan Uji Validitas Rapid Diagnostic Test Antigen pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kebijakan yang berlaku mulai 18 Agustus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 104/PMK.02/2021.
Pasal 1 dalam beleid tersebut menyebutkan pemerintah menetapkan tarif untuk uji validitas rapid diagnostic test antigen di laboratorium lingkup Kementerian Kesehatan sebesar Rp 694 ribu untuk sekali tes. Tarif tersebut berlaku untuk uji validitas alat rapid diagnostic test antigen, bukan tarif atas tes antigen.
"Dengan pertimbangan tertentu, tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) uji validitas rapid diagnostic test antigen sebagaimana dimaksud dalam pasal satu dapat ditetapkan sampai dengan Rp 0 atau 0%," bunyi pasal 3 ayat (1) sebagaimana dikutip Katadata.co.id, Kamis, (12/8).
Besaran tarif, tata cara dan persyaratan pengenaan tarif sampai dengan Rp 0 yang akan diatur oleh Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan masih akan meminta persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Setiap tarif yang dikumpulkan dari uji rapid diagnostik test antigen akan dihitung sebagai PNBP dan akan masuk ke dalam kas negara.
Pengujian rapid diagnostik test antigen termasuk dalam objek PNBP berupa pelayanan yang bersifat volatile. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2020, pasal 8 ayat (3) berbunyi objek PNBP pelayanan yang bersifat volatile merupakan jenis tarif yang memerlukan perubahan paling sedikit sekali dalam setahun. Penetapan tarif tersebut dilakukan melalui peraturan menteri keuangan (PMK).
Sementara itu, penyelenggaran terutama terkait penununjukan lokasi pengujian serta tata cara rapid diagnostic test antigen diatur secara terpisah melalui peraturan menteri kesehatan.
Sri Mulyani juga menyediakan anggaran Rp 20,85 triliun dalam bentuk pemberian insentif pajak untuk impor berbagai produk kesehatan untuk penangan Covid-19. Ini belum termasuk tambahan Rp 370 miliar khusus untuk pengadaan oksigen baik dari dalam maupun luar negeri.
"Kami juga tetap memberikan insentif perpajakan di bidang kesehatan Rp 20,85 triliun untuk pembebasakn pajak dan bea cukai untuk berbgai impor dari vaksin dan alat-alat kesehatan, termasuk juga Oksigen." kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA edisi Juli, Rabu, (21/7).
Bendahara negara itu juga mengatakan, pemerintah telah menambah anggaran Rp 400 miliar untuk menyediakan obat-obatan Covid-19 khusus bagi pasien isolasi mandiri (isoman). Selain itu, ada juga anggaran tambahan Rp 2,75 triliun yang dipakai untuk membangun fasilitas perawatan kesehatan darurat.
Anggaran tersebut belum termasuk alokasi dalam anggaran PEN untuk klaster kesehatan lainnya, seperti klaim perawatan pasien kepada rumah sakit, vaksinasi hingga pembayaran insentif nakes termasuk tunjangan kematian nakes. Secara kumulatif, anggaran program PEN 2021 untuk kesehatan sebesar Rp 214,95 triliun. Nilainya terus ditingkatkan setelah sebelumnya hanya Rp 172,8 triliun.
Kendati jadi klaster dengan anggaran paling besar, mencakup hampir sepertiga total dana PEN, realisasi klaster kesehatan merupakan yang paling lambat. Hingga akhir Juli, realisasi anggaran PEN mencapai 41%. Khusus untuk anggaran kesehatan realisasinya baru mencapai Rp 65,5 triliun atau 30,4% dari nilai pagu Rp 214,95 triliun.