Burden Sharing hingga 2022, Bagaimana Daya BI Hadapi Tapering Off AS?

Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. BI optimistis efek tapering off The Fed tak akan seburuk taper tantrum 2013.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
24/8/2021, 18.14 WIB

Bank Indonesia kembali membantu pemerintah mendanai APBN 2021 dan 2022 melalui pembelian surat berharga negara (SBN), yang sebagian dilaksanakan dengan skema berbagi beban atau burden sharing. Meski akan berpengaruh pada neraca BI, kebijakan ini dinilai tak akan mengurangi kemampuan bank sentral dalam menghadapi efek penarikan stimulus atau tapering off The Fed.

Ekonom Bank Permata Joshua Pardede menilai, langkah burden sharing oleh Bank Indonesia memberi keuntungan bagi pemerintah. Hal ini terutama untuk menjamin ruang fiskal tetap lebar karena bunga utang yang harus dibayar pemerintah semakin kecil.

"Kalau tidak ada burden sharing, beban bunganya bisa tinggi, artinya ruang fiskalnya semakin sempit dan stimulus-stimulus untuk ekonomi jadi semakin terbatas," kata Joshua kepada Katadata.co.id, Selasa (24/8).

Meski Bank Indonesia akan menggelontorkan anggaran besar untuk memborong obligasi sementara bunga yang diterima rendah, ia menilai, bank sentral masih akan tetap menuai manfaat. Ini karena burden sharing bisa membantu menjaga stabilitas di pasar obligasi dan secara simultan berefek positif terhadap stabilitas rupiah.

"Dari sisi Bank Indonesia tentu ada tujuan mutual juga, yakni bagaimana bank sentral mengupayakan dukungan pemulihan tetapi juga menjaga stabilitas moneter," ujarnya.

Senada, Kepala Ekonom BCA David Sumual juga menyebut peran Bank Indonesia vital untuk membantu pemerintah mendanai penanganan pandemi. Terlebih kebijakan pembiayaan pemerintah dinilai sangat terbatas di musim paceklik seperti sekarang.

Ia menjelaskan, keberadaan investor asing dalam pembiayaan utang pemerintah juga mulai menurun dan porsinya semakin menyusut. "Obligasi yang diterbitkan pemerintah sebagian besar diserap Bank Indonesia, karena penyerapan dari asing terus turun yang dulu kepemilikannya di atas 30% sekarang sudah mendekati 20%," kata David.

Burden sharing yang dilakukan BI, menurut dia, tak akan mempengaruhi kemampuannya menahan dampak tapering off yang kemungkinan dilakukan The Fed.  "Dari sisi kemampuan, Bank Indonesia sekarang, mereka sudah mampu menghadapi tapering off. Paling tidak beberapa instrumen seperti cadang devisa, utang luar negeri turun, defisit transaksi berjalan juga turun, serta adanya kebijakan triple intervension," ujar David.

Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2021 tercatat Rp 137,3 miliar, naik US$ 300 juta dari bulan sebelumnya. Cadangan devisa bulan Juli setara 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai, Bank Indonesia bahkan masih memiliki ruang cukup lebar untuk menambah target pembelian SBN. Hal ini terutama karena posisi cadangan devisa Bank Indonesia yang cukup besar.

"Kalau bisa lebih besar dari itu, karena kalau dibandingkan pembelian Rp 244 triliun terhadap nilai defisit APBN tahun depan Rp 868 triliun, itu bahkan baru sekitar seperempatnya," kata Faisal.

Faisal juga menyebut bentuk intervensi moneter lainnya yang sudah dilakukan selama ini juga dinilai tidak efektif. Penurunan suku bunga hingga level terendah dalam sejarah 3,5% tidak memberi dampak signifikan terhadap penyaluran kredit. Menurutnya, peran otoritas moneter memborong obligasi pemerintah dinilai bakal lebih ampuh membantu pemulihan.

"Masalahnya bukan di tingkat bunganya yang ketinggian, tapi dari sisi permintaan kreditnya yang memang rendah. Upaya untuk meningkatkannya harus didorong oleh pemerintah dan itu melalui APBN," ujar Faisal.

Otoritas Jasa Keuangan melaporkan penyaluran kredit pada Juni 2021 tercatat tumbuh 0,59%. Ini merupakan pertumbuhan positif pertama setelah sembilan bulan terkontraksi. Kendati demikian, nasabah tampaknya masih lebih tertarik untuk menyimpan uangnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) periode yang sama justru tumbuh dua digit 11,28%.

BI akan kembali mendukung pembiayaan APBN 2021 dan 2021 dengan disepakatinya Surat Keputusan Bersama (SKB) III dengan dengan Kementerian Keuangan. BI dapat membeli  SBN akan dilakukan melalui dua skema yang memiliki ketentuan besaran pembelian, pihak yang menanggung beban bunga serta tujuan yang berbeda-beda.

Pada klaster A, Bank Indonesia akan membeli SBN pemerintah senilai Rp 98 triliun. Ini terdiri atas Rp 58 triliun untuk mendukung APBN 2021, dan Rp 40 triliun untuk APBN 2022. Dalam klaster ini, Bank Indonesia menyepakati burden sharing sehingga pemerintah akan membayar bunga utang sebesar 0% alias gratis.

Klaster B, Bank Indonesia akan membeli SBN pemerintah senilai Rp 341 ttriliun. Ini terdiri atas Rp 157 triliun untuk APBN 2021 dan Rp 184 triliun untuk APBN 2022. Namun, pemerintah akan tetap dikenai pembayaran bunga utang dengan tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan.

Reporter: Abdul Azis Said