Cina Diklaim Tengah Memasuki Stagflasi, Bagaimana dengan Indonesia?

ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang/HP/sa.
Kota Terlarang digambarkan di tengah hujan salju di Beijing, Cina, Minggu (7/11/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang/HP/sa.\
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
11/11/2021, 19.54 WIB

Momok stagflasi kini menghantui sejumlah negara lain, termasuk Cina. Namun, momok tersebut diperkirakan masih belum mendekati Indonesia.

Cina yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia diperkirakan mulai dihantui  stagflasi akibat inflasi yang melonjak tapi tidak dibarengi dengan pertumbuhan pesat.

Stagflasi merupakan situasi perekonomian dimana inflasi terus meroket sementara aktivitas ekonomi stagnan atau bahkan melambat.

Fenomena ini pertama kali diidentifikasi saat krisis minyak tahun 1970-an. Krisis memicu kenaikan harga-harga tetapi pertumbuhan ekonomi malah anjlok.

Di Cina, tanda-tanda perlambatan Cina mulai terlihat dari Purchasing Manager's Index (PMI) Maufaktur bulan lalu yang turun dari 49,2 poin, dari bulan sebelumnya 49,6.

Ini mengindikasikan kinerja pabrik-pabrik di Cina masih terkontraksi. Padahal seperti diketahui negeri panda itu menggantungkan sebagian besar ekonominya dari sektor manufaktur.

Berdasarkan data Biro Statistik Nasional Cina (NBSC), indeks PMI Manufaktur Oktober merupakan lanjutan dari periode pelemahan yang sudah berlangsung sejak April lalu.

Kinerja bulan lalu juga mencatat kontraksi dua bulan berturut-turut.

 Kepala ekonom di Pinpoint Asset Management mengatakan indeks produksi telah turun ke level terendah sejak diterbitkan pada 2005. Ini jika mengecualikan kinerja saat krisis keuangan global 2008 dan wabah Covid-19 pada Februari tahun lalu.

Sebaliknya, indeks harga output telah naik ke level tertinggi sejak tahun 2016.

"Sinyal-sinyal ini mengkonfirmasi bahwa ekonomi Cina kemungkinan sudah mengalami stagflasi," tulisnya dalam sebuah catatn dikutip dari CNBC Internasional awal minggu ini.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, stagflasi identik dengan negara-negara maju. Hal ini karena mereka cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Berbeda dengan negara berkembang di mana pertumbuhan ekonomi cenderung tinggi.

Karena itulah, menurutnya kecil kemungkinan bagi Cina untuk stagflasi, begitu juga dengan di Indonesia.

 "Kalau di Indonesia saya pikir kita jauh dari stagflasi. Dari sisi status negara kita sebagai negara berkembang harusnya perekonimian kita tumbuh normal di kisran 5%, apalagi dengan adanya reformasi struktural bisa mendorong pertumbuhan lebih cepat lagi," kata Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (11/11).

Negara berkembang menurutnya masih memiliki potensi besar untuk terus tumbuh.

Ini berbeda dengan sejumlah negara maju di Eropa atau Jepang yang sejak lama perekonomiannya tumbuh terbatas.

Karena itu, dengan adanya krisis energi yang kemudian memicu lonjakan inflasi parah di zona euro memunculkan ancaman stagflasi.

Di sisi lain perekonomian kawasan ini dalam kondisi normal tumbuhnya juga rendah. Karena itu, Josua mengatakan stagflasi lebih mungkin menjangkit negara-negara Eropa.

 Beda lagi dengan AS. Meski tergolong negara maju tetapi Josua menilai negeri Paman Sam masih punya sumber daya untuk terus tumbuh.

Karena itu, sekalipun inflasi di AS itu meroket beberapa bulan terakhir, potensi stagflasi sangat minim.

Senada dengan Josua, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan Cina sebetulnya masih jauh dari stagflasi.

Jika membandingkan dengan negara lain, pertumbuhan ekonomi Cina bahkan lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Cina berhasil tumbuh 4,9% pada kuartal ketiga 2021, sedangkan Indonesia hanya 3,51%.

"Tapi memang buat Cina, walau tidak sampai negatif, pertumbuhan ekonominya yang melambat saja kan pengaruhnya besar baik domestik maupun global," kata Faisal kepada Katadata.co.id.

Meski demikian, sekalipun belum resmi stagflasi, Faisal mengatakan dengan kondisi yang saat ini perlambatan ekonomi Cina akan berdampak ke Indonesia. Dampaknya terutama dari aspek ekspor-impor.

 Perlambatan ekonomi di Cina akan menggerus permintaan atas komoditas ekspor Indonesia. Hal ini tentu akan sangat terasa, mengingat lebih dari 20% nilai ekspor RI lari ke Cina.

Begitu juga dari sisi impor, Cina menjadi negara eksportir terbesar Indonesia, terutama untuk barang modal dan bahan baku penolong.

Faisal mengatakan, kenaikan inflasi saat ini akan mendorong kenaikan harga-harga barang-barang impor, yang pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan biaya produksi juga naik.

Reporter: Abdul Azis Said