Pemerintah Batal Tarik Utang Rp 300 T Berkat BI dan Harga Komoditas

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi. Hingga akhir 2021, realsisasi penerbitan utang akan berkurang secara signifkan sekitar Rp 300 triliun dari rencana awal APBN.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
13/12/2021, 16.56 WIB

Kementerian Keuangan memastikan penarikan utang pada tahun ini akan lebih kecil dari target awal. Hal ini dipengaruhi langkah pemerintah memanfaatkan kerja sama dengan Bank Indonesia, serta membaiknya penerimaan negara karena lonjakan harga komoditas.

"Hingga akhir 2021, realsisasi penerbitan utang akan berkurang secara signifkan sekitar Rp 300 triliun dari rencana awal APBN," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Riko Amir dalam media briefing, Senin (13/12).

Dalam sisa tiga pekan terakhir tahun ini, menurut Riko, pemerintah masih akan menerbitkan utang melalui private placement kepada Bank Indonesia (BI). Ini merupakan bagian dari kerja sama SKB III untuk pembelian surat utang Rp 215 triliun tahun ini.

Ia menjelaskan, pemerintah  memperoleh utang dengan biaya murah, yakni dengan tingkat bunga lebih rendah dari pasar melalui langkah pembelian surat utang oleh BI. Sebagian bahkan menggunakan skema melalui burden sharing atau berbagi beban, yakni pemerintah tidak akan dikenakan beban bunga utang. 

Riko mengatakan, realisasi penarikan utang hingga 7 Desember sudah mencapai Rp 1.186,2 triliun atau 88,3% dari outlook tahun ini. Sebagian besar dari realisais tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1.144,6 triliun. Sisanya Rp 41,6 triliun merupakan pinjama program, yang mana realisasinya sudah mencapai 100% dari outlook tahun ini.

Realisasi penarikan utang dari SBN tersebut terdiri atas SBN domestik atau denominasi rupiah mencapai Rp 982,6 triliun dan SBN valuta asing atau valas Rp 158 triliun. Penerbitan SBN domestik tersebut sudah termasuk hasil penerbitan awal melalui private placement dalam rangka SKB III dengan BI akhir November lalu sebesar Rp 58 triliun.

Selain melalui SKB III, pembelian surat utang domestik oleh BI juga dilakukan dalam rangka SKB I dengan nilai pembelian Rp 143,3 triliun. Pembelian tersebut terdiri atas Rp 67,9 triliun melalui lelang dan Rp 75,5 triliun melalui greenshoe option alias lelang tambahan.

"Dengan demikian sisa pengadaan utang tunai untuk tahun 2021 adalah tingal melaksanakan penerbitan SKB III dengan nilai Rp 157 riliun yang akan dilakukan akhir tahun ini," kata Riko.

Pemerintah sebelumnya telah menyetop penarikan utang baru melalui lelang enam SBN di pasar perdana sejak awal bulan lalu. Enam jadwal lelang tersebut terdiri atas penerbitan tiga Surat Utang Negara (SUN) dan tiga lelang sukuk di bulan November dan Desember.

Pembatalan lelang dikarenakan outlook penerimaan tahun ini kemungkinan bisa mencapai target. Ini berkat naiknya harga komoditas sehingga penerimaan perpajakan dan PNBP juga membaik. Selain itu, alasan lainnya karena pemerintah masih memiliki kerja sama SKB III dengan BI yang menawarkan utang lebih murah. Melalui kerja sama ini, BI berjanji memborong SBN pemerintah senilai Rp 215 triliun tahun ini dan Rp 224 triliun pada tahun depan.

"Penerbitan SBN kita tahun ini lebih rendah. Pada semester kedua ada penurunan target lelang mulai September seiring penurunan defisit APBN karena adanya optimalisasi penggunana SiLPA, perbaikan penerimana karena harga komoditas yang cukup baik dan juga adanya pelaksanan SKB III," kata Riko.

Meski utang Indonesia terus meningkat terutama setelah pandemi Covid-19. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih berada di peringkat keempat terendah di antara negara-negara G20 lainnya. Mengutip Trading Economics, rasionya mencapai 38,5% pada 2020, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Reporter: Abdul Azis Said