Pemerintah kini membidik uang kripto dan non-fungible token (NFT) sebagai objek pajak. Peningkatan transaksi kedua aset digital ini dinilai berpotensi mendongkrak penerimaan negara dari sisi pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan, pemerintah belum mengenakan pajak khusus untuk aset kripto dan NFT.

Namun, wajib pajak tetap harus melaporkan keuntungan dari transaksi kedua aset digital tersebut. Uang kripto dan NFT dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan masuk dalam Surat Pemberitahuan atau SPT Tahunan.

"Ketentuan umum aturan perpajakan tetap dapat digunakan. Sebagaimana disebutkan dalam UU PPh, setiap tambahan kemampuan ekonomis dikenakan pajak, termasuk transaksi ini (kripto dan NFT)," kata Neil kepada Katadata.co.id, Senin (10/1).

Ketentuan pajak penghasilan untuk uang kripto dan NFT tersebut diatur dalam pasal 4 ayat 1 UU PPh di dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pasal itu menyebutkan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Penghasilan tersebut dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Warganet pun sempat bertanya kepada Ditjen Pajak melalui akun @kring_pajak terkait uang kripto dan NFT. Otoritas menjelaskan bahwa mengingat belum adanya peraturan khusus untuk kedua aset digital ini, maka skema pajaknya dihitung sebagai pajak penghasilan mengunakan tarif progresif sesuai pasal 17 UU PPh.

Dalam pasal tersebut, tarif PPh dibagi ke dalam lima bracket yakni:

  1. Penghasilan kena pajak sampai Rp 60 juta dikenakan tarif 5%
  2. Penghasilan Rp 60 juta – Rp 250 juta tarif 15%
  3. Penghasilan Rp 250 juta – Rp 500 juta tarif 25%
  4. Penghasilan Rp 500 juta – Rp 5 miliar tarif 30%
  5. Penghasilan di atas Rp 5 miliar tarif 35%

Neil mengatakan, Ditjen Pajak kini mengkaji dan mendalami pengenaan pajak transaksi kripto dan NFT, termasuk mengenai skema pengenaaan pajaknya. Menurutnya, kajian yang lebih komprehensif diperlukan mengingat kedua aset digital ini merupakan hal baru.

Dari sisi pelaporan, seperti pada umumnya, yakni self assessment. Mulai dari menghitung, membayar hingga melaporkannya secara mandiri.

Namun Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai tidak perlu ada aturan pajak khusus untuk kripto dan NFT. Sebab, ketentuan objek pajak dalam pasal 4 ayat 1 UU PPh cukup untuk menagih penghasilan dari aset digital.

Sedangkan untuk setiap penjualan aset kripto dan NFT, bisa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai UU PPN. Dengan begitu tidak perlu ada jenis atau pungutan baru.

"Jika pemerintah ingin meningkatkan efektivitas pemungutan, maka dapat menjadikan platform jual-beli sebagai pemungut. Aturannya sudah ada di UU HPP, hanya perlu buat aturan turunan," kata Fajry kepada Katadata.co.id.

Dengan masuknya NFT dan uang kripto ke dalam objek pajak dan dihitung sebagai penghasilan, Fajry menilai akan ada potensi dari sisi penerimaan negara. Namun ia belum dapat memperkirakan peningkatannya.

"Dengan semakin maraknya penggunaan kripto dan NFT, maka potensi penerimaan pajaknya juga akan semakin besar," kata dia.

Reporter: Abdul Azis Said