Rupiah Diramal Anjlok Rp 14.350/US$ Imbas Rencana Kenaikan Bunga Acuan
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,23% ke level Rp 14.329 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Pelemahan pada rupiah masih dibayangi rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan suku bunga acuannya tahun ini.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke RP 14.330 pada pukul 09.20 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan akhir pekan lalu di Rp 14.296 per dolar AS.
Tidak hanya rupiah, mata uang Asia lainnya kompak melemah.
Yen Jepang terkoreksi 0,25%, dolar Hong Kong 0,02%, dolar Singapura 0,11%, dolar Taiwan 0,08%, won Korea Selatan 0,50%, peso Filipina 0,36%, rupee India 0,36%, yuan Cina 0,06%, ringgit Malaysia 0,23% dan bath Thailand 0,24%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah ke Rp 14.320-14.350 per dolar AS, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.250. Pelemahan rupiah hari ini kembali dipengaruhi rencana pengetatan moneter bank sentral AS.
"Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik ke kisaran 1,78% pada perdagangan akhir pekan setelah tertekan di kisaran 1,70%. Ini mengindikasikan pasar bersiap dengan kenaikan suku bunga acuan AS," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (17/1).
Yield US Treasury konsisten bertahan di atas 1,70% sejak 5 Januari lalu. Kenaikan juga pada tenor lainnya, yield US Treasury 5 tahun naik menjadi 1,55%, tenor 20 tahun menjadi 2,18% dan 30 tahun sebesar 2,12%.
Selain itu, akhir pekan lalu pemerintah AS juga merilis data penjualan retail bulan Desember yang menunjukkan pelemahan.
Penjualan retail AS di akhir tahun anjlok 1,9% dari bulan sebelumnya, lebih buruk dari perkirakan Dow Jones dengan penurunan 0,1%. Kinerja ini juga menunjukkan penurunan dari bulan November yang masih bisa tumbuh 0,2%.
Penjualan online yang berkontribusi paling besar dalam penjualan retail mendapat pukulan terbesar dengan penurunan 8,7%.
Penjualan furnitur dan perabotan rumah turun 5,5% dan barang olahraga, musik, dan toko buku turun 4,3%.
"Banyak analis mensinyalir tekanan pada data ini karena kenaikan inflasi yang mengurangi minat belanja masyarakat AS. Analisis ini mendukung keinginan bank sentral AS untuk segera menaikan suku bunga acuannya," kata Ariston.
Adapun The Fed memang telah memberi sinyal akan menaikkan suku bunga lebih cepat tahun ini.
Pasar mengantisipasi kenaikan bisa tiga hingga empat kali. Rencana kenaikan bunga acuan seiring kenaikan inflasi Desember yang terus berlanjut dan menyentuh rekor tertingginya dalam empat dekade.
Sekalipun dibayangi sentimen rencana pengetatan moneter The Fed, Ariston menyebut data ekonomi domestik dapat menahan pelemahan rupiah. Salah satunya karena faktor membaiknya data neraca perdagangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan neraca perdagangan Desember 2021 siang ini, yang mana pasar memperkirakan neraca dagang bisa kembali mencetak surplus di kisaran US$ 3 miliar.
"Neraca perdagangan yang surplus bisa membantu rupiah bertahan dari tekanan kenaikan suku bunga acuan AS karena suplai dollar di tanah air bertambah," kata Ariston.
Adapun neraca perdagangan terus surplus sejak Mei 2020.
Ini berarti, jika neraca dagang kembali surplus di Desember, maka tren surplus sudah berlangsung sepanjang 20 bulan berturut-turut.
Selain itu, surplus perdagangan meningkat di beberapa bulan terakhir 2021, dimana surplus menyentuh US$ 5,74 miliar pada Oktober yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.