Rupiah Bisa Anjlok ke Rp 14.400/US$ Terimbas Kenaikan Inflasi Global

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.
Pekerja menghitung uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Rabu (5/1/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
20/1/2022, 09.37 WIB

Rupiah dibuka menguat 0,17% ke level Rp 14.339 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Rupiah diramal berbalik melemah di tengah kekhawatiran kenaikan inflasi sejumlah negara maju yang mendorong pengetatan moneter.

Mengutip Bloomberg, rupiah melemah ke Rp 14.355 pada pukul 09.15 WIB. Namun ini belum menyentuh level penutupan kemarin di Rp 14.364 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya menguat. Yen Jepang dan dolar Singapura kompak menguat 0,06% bersama won Korea Selatan 0,03%, dan peso Filipina 0,15%.

Sementara itu, rupee India 0,2%, ringgit Malaysia 0,16% dan bath Thailand 0,07%. Sementara dolar Taiwan melemah 0,07% bersama dolar Hong Kong 0,01%, sedangkan yuan Cina stagnan.

 Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah masih berpotensi melemah di rentang Rp 14.380-14.400 per dolar AS, dengan potensi penguatan di Rp 14.350.

Pelemahan rupiah masih dibayangi kenaikan inflasi di sejumlah negara.

"Kenaikan inflasi global bisa menjadi momok bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi global seperti perekonomian negara berkembang. Ini bisa mendorong pasar keluar dari rupiah," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Kamis (20/1).

Tekanan kenaikan harga-harga masih berlanjut di sejumlah negara dunia. Usai Amerika, kini giliran Inggris yang melaporkan inflasi konsumen yang masih memanas.

Inflasi di Inggris pada Desember mencapai 5,4% secara tahunan, yang merupakan rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

 Tekanan kenaikan harga-harga ini mendorong pasar kembali mencermati sikap bank sentral Inggris (BoE) untuk mengenda;ikan inflasi.

BoE sudah menaikkan bunga acuannya sebanyak 15 basis poin menjadi 0,25% pada pertemuan bulan lalu dan diperkirakan kembali menaikkannya menjadi 0,5% pada pertemuan awal bulan depan.

BOE menjadi bank sentral besar pertama bank dunia yang mulai menormalisasi suku bunganya.

Tekanan inflasi di Amerika Serikat lebih dulu membayangi pergerakan rupiah beberapa pekan terakhir. Inflasi di negeri paman sam mencapai rekor tertingginya dalam 40 tahun terakhir.

Ini semakin memperkuat rencana percepatan kenaikan suku bunga acuan The Fed tahun ini setelah tapering off benar-benar berakhir di akhir kuartal pertama 2021.

Pasar bertaruh The Fed bisa menaikkan suku bunga acuannya tiga atau empat kali tahun ini.

 Kekhawatiran terhadap kenaikan bunga acuan The Fed tercermin dari pergerakan yield US Treasury yg terus menanjak sejak awal tahun.

Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS itu bertahan di atas 1,8% di perdagangan dua hari terakhir.

"Kenaikan yield ini mengindikasikan bahwa pasar berekspektasi suku bunga acuan AS akan naik dalam waktu dekat," kata Ariston.

Sementara dari dalam negeri, pergerakan rupiah akan dipengaruhi penantian pasar terhadap pertemuan dewan gubernur Bank Indonesia (BI) siang ini.

BI diperkirakan masih akan mempertahankan kebijakan suku bunga rendah di tengah inflasi domestik yang masih terkendali bahkan cenderung rendah di bawah target.

"Pasar menunggu sinyal yang akan diberikan oleh BI terkait kebijakan moneter ke depan menyikapi kemungkinan kenaikan bunga acuan The Fed  dan pengaruhnya terhadap volatilitas rupiah dan pergerakan yield SBN," kata analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto kepada Katadata.co.id.

Reporter: Abdul Azis Said