Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve diperkirakan menaikkan suku bunga acuannya secara agresif pada tahun ini untuk merespons lonjakan inflasi. Bank Indonesia (BI) menilai rencana kenaikan bunga tersebut tidak akan memberi efek guncangan ke Indonesia maupun negara emerging lainnya seperti periode taper tantrum 2013.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, dampak pengetatan moneter kali ini tidak akan separah taper tantrum delapan tahun silam. Ini karena komunikasi The Fed terkait arah kebijakannya sudah cukup baik dan dapat diantisipasi pasar.
"Kita sudah mendengarkan proses normalisasi dan rencana kenaikan bunga The Fed, pasar sudah menyesuaikan diri dan melakukan penyesuaian harga. Negara-negara emerging market bisa melaporkan (kinerja) baik," kata Perry dalam webinar side event finance track G20 secara daring, Rabu (16/2).
Menurut Perry, kesiapan dari negara emerging juga terlihat dari sudah adanya kerangka kerja bank sentral khususnya dari sisi moneter. Ia mencontohkan, Indonesia sudah menyiapkan sejumlah kebijakan terutama untuk menghadapi risiko efek rembetan kebijakan AS.
Dia mengatakan, setidaknya ada tiga instrumen yang bisa digunakan BI untuk menjaga stabilitas eksternal sekaligus mendukung pemulihan ekonom domestik. Ketiganya yakni menjaga stabilitas nilai tukar, manajemen likuiditas, dan bunga acuan. Dua instrumen pertama sudah dilakukan, sementara untuk kenaikan bunga acuan, Perry mengatakan masih akan terus memantau kondisi inflasi domestik sebelum menaikkan bunga.
Ia juga menilai dampak pengetatan moneter The Fed tidak akan seberat satu windu lalu karena sebagian besar negara emerging terus mendorong upaya pendalaman pasar keuangan domestiknya. Pendalaman di pasar keuangan ini dapat menjadi sub-absorber ketika terjadi efek rembetan kebijakan AS.
"Alasan-alasan itu yang membuat kenapa saya yakin bahwa negara emerging sudah lebih baik dalam mengantisipasi proses normalisasi tersebut," kata Perry.
Senada dengan Perry, Ekonom sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Chatib Basri melihat efek rembetan dari pengetatan moneter The Fed kali ini akan berbeda dengan yang sempat terjadi 2013 lalu.
"Saya mesti mengatakan bahwa saat ini berbeda, taper tantrum 2.0 akan berbeda dengan taper tantrum 2013," kata Chatib Basri dalam acara yang sama.
Dia menyebut ada dua alasan efek rembetan pengetatan The Fed tidak akan signifikan. Pertama, defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan 2013 yang sempat menyentuh 4,4%.
Kedua, kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah terus menyusut. Pada 2013, kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah mendekati 40%. Sementara pada akhir tahun lalu, kepemilikan asing menyusut tajam mendekati 19%.
"Kalau peran dari eksternal financing-nya kecil, uangnya keluar, porsi yang keluar kan juga relatif kecil. Itu yang menjelaskan kenapa rupiahnya kurang lebih stabil meski The Fed sudah mengumumkan akan menaikan bunga acuan," kata Chatib.
Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.