Bank Indonesia telah melakukan asesmen menyeluruh terhadap dampak perang antara Rusia dan Ukraina terhadap perekonomian Indonesia. Menurut BI, ada tiga aspek yang terdampak, yakni harga komoditas global, volume dan pola perdagangan global, dan keuangan.
"Harga komoditas global kami sudah melihat mengalami kenaikan, berkaitan minyak, gas, maupun komoditas pangan. Kami memperkirakan rerata harga minyak Indonesia bulan ini akan naik menjadi US$ 85-85 per barel dari asesmen Februari US$ 67-70 per barel," ujar Perry dalam konferensi pers, Kamis (17/8).
Kenaikan harga minyak ini berdampak pada harga komoditas lainnya. Perry menyebut, indeks harga komoditas ekspor Indonesia dalam asesmen terbaru BI diperkirakan naik 10,5%, melonjak dibandingkan asesmen bulan lalu yang naik 4,2%. "Tentu saja dampak ini akan dipengaruhi berapa lama eskalasi ini akan berlangsung," ujarnya.
Kenaikan harga komoditas, menurut Perry, akan berpengaruh terhadap kondisi fiskal dan harga-harga di dalam negeri. Namun, dampaknya juga akan bergantung pada kebijakan pemerintah dalam menyikapi harga energi global. "Kenaikan harga minyak dunia sudah kita lihat keberkaitannya ke harga BBM nonsubsidi. Namun bagaimana implikasinya ke fiskal dan seberapa jauh ke depan, bergantung pada kebijakan-kebijakan pemerintah," kata dia.
Perry mengatakan, perang juga akan berdampak pada volume dan pola perdagangan barang, terutama berdampak pada suplai. Hal ini akan berpengaruh pada pasokan yang dapat mempengaruhi harga barang di dalam negeri. "Kami akan mendukung upaya pemerintah menjaga harga pangan, terutama mendekati Ramadhan," katanya.
Sementara di pasar keuangan, perang berimplikasi pada aliran modal asing keluar dan nilai tukar rupiah. Modal asing keluar dari pasar SBN pada bulan lalu sebesar US$ 0,4 miliar. Sementara nilai tukar rupiah, menurut dia, tetap terjaga bahkan cenderung terapresiasi.
"Kami akan terus memantau dampaknya dari waktu ke waktu dan berkoordinasi dengan pemerintah, terutama menghadapi kenaikan harga minyak global," katanya.