Kementerian Keuangan akan memanfaatkan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI) untuk memenuhi target pembiayaan utang pada paruh kedua 2022 di tengah risiko kenaikan bunga acuan bank sentral Amerika (The Fed). BI berencana memborong surat utang pemerintah melalui skema Surat Keputusan Bersama (SKB) III atau burden sharing sebesar Rp 224 triliun pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah masih memiliki dua kerja sama dengan BI untuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) tahun ini melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) I dan SKB III. Pada SKB I, bank sentral sebagai standby buyer sudah membeli obligasi pemerintah sebesar Rp 8,76 triliun sejak awal tahun.
"Untuk SKB III, BI akan melaksanakannya pada semester kedua sehingga bisa menjadi penopang untuk menghadapi situasi volatilitas dan risiko yang meningkat dari kenaikan suku bunga akibat tren global," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA edisi Maret, Senin (28/3).
Bendahara negara ini juga mengatakan kenaikan suku bunga global, terutama di Amerika Serikat akan memiliki konsekuensi terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemanfaatan kerjasama dengan BI lewat pembelian SBN menjadi salah satu cara untuk melindungi agar kesehatan APBN tetap terjaga dan bisa terus bekerja melindungi masyarakat dan ekonomi.
Seperti diketahui, The Fed sudah mengumumkan kenaikan pertama untuk bunga acuannya pada pertengahan bulan ini. The Fed diperkirakan masih akan menaikkan bunga acuan sampai enam kali sampai akhir tahun.
Hingga dua bulan pertama tahun ini, pemerintah telah menerbitkan SBN neto sebesar Rp 67,7 triliun, anjlok 75,1% dibandingkan Januari-Februari 2021. Penerbitan surat utang tahun ini sudah turun lebih dari Rp 200 triliun dibandingkan tahun lalu.
Penerbitan utang yang menurun berdampak positif kepada APBN terutama di tengah kenaikan bunga global. "Dengan penerbitan yang menurun, kita bisa menghindari sebagian dari risko tersebut," kata Sri Mulyani.
Sementara dari sisi pinjaman neto, Kemenkeu mencatat terjadi kenaikanlebih dari 900% menjadi Rp 25,2 triliun. Meski demikian, pembiayaan utang secara keseluruhan pada tahun ini masih lebih rendah 66,1% dibandingkan tahun 2021.
Sri Mulyani menargetkan penerbitan utang tunai tahun ini akan diturunkan hingga Rp 100 triliun. Langkah ini diambil dengan tetap mempertimbangkan perkembangan kondisi pasar dan fiskal.
Penurunan pada realisasi pembiayaan utang di awal tahun ini juga tidak lepas dari kinerja penerimaan negara yang berhasil tumbuh tinggi sehingga APBN masih mencatat surplus Rp 19,7 triliun.
Pemeirntah mencatat, pendapatan negara hingga akhir Februari tercatat sebesar Rp 302,4 triliun atau tumbuh 37,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini ditopang oleh penerimaan perpajakan serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tumbuh dua digit. Sementara dari sisi belanja negara menyusut 0,1% terutama karena pelemahan pada belanja kementerian dan Lembaga (K/L).