IMF Peringatkan Bahaya Perbankan Borong Surat Utang Pemerintah

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Ilustrasi. IMF mencatat, rata-rata rasio utang pemerintah negara emerging terhadap produk Domestik Bruto (PDB) naik menjadi 67% pada tahun lalu.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
19/4/2022, 12.29 WIB

Hal ini kian berisiko karena prospek ekonomi di negara emerging saat ini menghadapi risiko lebih besar dibandingkan negara maju. Negara emerging memiliki prospek pertumbuhan yang lebih lemah dibandingkan tren pra-pandemi. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan fiskal yang lebih sedikit untuk mendukung perekonomian. Di sisi lain, biaya utang luar negeri juga makin mahal.

Normalisasi kebijakan moneter di negara maju serta efek perang di Ukraina menyebabkan kondisi keuangan global makin ketat. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan investor terhadap kemampuan pemerintah negara emerging dalam hal pembayaran utang. 

"Kehati-hatian fiskal diperlukan untuk menghindari intensifikasi lebih lanjut dari hubungan bank dan negara," kata IMF.

Dari sisi perbankan, penguatan ketahanan dengan menjaga penyangga modal yang menyerap kerugian juga dinilai penting. Hal yang dapat dilakukan yakni membatasi jumlah dividen dan buyback saham, mengingat ketidakpastian terhadap prospek ekonomi masih meningkat. Selain itu, bank juga perlu meninjau kualitas aset bank untuk mencapai tingkat permodalan yang memadai.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kepemilikan obligasi pemerintah oleh perbankan di Indonesia juga meningkat terutama selama dua tahun pandemi ini. Kepemilikan surat berharga negara oleh perbankan yang meningkat seiring dengan kepemilikan BI,  mengkompensasi penurunan porsi kepemilikan asing. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 14 April 2022, kepemilikan  Surat Berharga Negara (SBN) oleh perbankan mencapai Rp 1.693 triliun, naik hampir tiga kali lipat dibandingkan posisi sebelum pandemi atau akhir 2019. Dengan posisi saat ini, bank memegang hampir 35% dari total SBN domestik yang diperdagangkan, naik dibandingkan sebelum pandemi sebesar 21,12%.

 

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said