Kenaikan Bunga The Fed Tak Akan Seret Rupiah Jatuh Dalam

ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.
Ilustrasi. Ekonom memperkirakan BI akan mulai menaikkan bunga acuan pada paruh kedua tahun ini.
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Agustiyanti
5/5/2022, 17.43 WIB

Bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps, kenaikan tertinggi dalam lebih dari dua dekade terakhir. Meski demikian, ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga ini tak akan signifikan menekan kurs rupiah. 

Ekonom BCA David Sumual menilai, para investor telah mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga The Fed. Gubernur The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers tadi malam bahkan menampik kekhawatiran pasar terkait potensi kenaikan suku bunga hingga 75 bps dalam pertemuan mendatang, mendorong kenaikan pada pasar saham. 

“Sehingga dampak kenaikan suku bunga The Fed ke rupiah tidak akan signifikan,” ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (5/5).

David juga berpendapat bahwa kenaikan suku bunga The Fed tadi malam tak akan menggoyahkan keputusan BI yang menyatakan tak akan menaikkan bunga hingga ada lonjakan pada inflasi domestik. Menurutnya, BI akan melihat keseimbangan internal, termasuk inflasi di dalam negeri.

“Apakah pemerintah akan menaikkan harga-harga yang diatur oleh pemerintah? Itu juga akan mempengaruhi inflasi di semester kedua. Jadi mereka akan melihat kondisi itu,” ujarnya.

Meski demikian, menurut dia, bukan mustahil BI akan menaikkan suku bunga mengikuti The Fed pada pertemuan bulan ini jika perbedaaan  suku bunga AS dan domestik semakin besar. Apalagi, jika inflasi di dalam negeri cenderung naik beberapa waktu ke depan. Hal ini akan semakin memperbesar kemungkinan BI turut menaikkan suku bunga seperti The Fed.

“Jadi potensi untuk BI  mengikuti The Fed mungkin terjadi,” kata David.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed sebenarnya berada di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 75 bps. Dengan demikian, menurut dia, dampak kenaikan bunga tadi malam tak akan terlalu menekan rupiah. 

“Sinyal kenaikan suku bunga Fed kedepannya yang relatif lebih rendah dari ekspektasi pasar, juga mendorong penguatan pasar saham AS tadi malam dan mendorong penurunan yield UST,” ujarnya.

Selain itu, menurut dia, BI biasanya akan masuk ke pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah jika terjadi gejolak melalui tiga lapis intervensi, yakni melalui intervensi di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN). Meski demikian, ia menekankan pentingnya pemerintah dan BI memperkuat koordinasi dalam rangka meminimalisir inflasi. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung aliran modal asing ke pasar keuangan domestik.

“Dalam rangka mendukung daya tarik investasi instrumen keuangan berdenominasi rupiah, pemerintah dan BI perlu memperkuat koordinasi dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi sedemikian rupa,” kata Josua.

Sementara itu, Ekonom bank Mandiri Faisal Rahman memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga acuannya pada semester kedua tahun ini. Sebagaimana diperkirakan, menurut dia, stance kebijakan The Fed akan lebih hawkish menghadapi tekanan lonjakan inflasi. 

“Kami belum melihat BI perlu terbaru-buru menaikkan suku bunga,” ujarnya. 

Menurut Faisal, Indonesia terbantu oleh kenaikan harga komoditas akibat parang Rusia dan Ukraina yang mendorong kinerja ekspor dan surplus besar pada neraca perdagangan. Kondisi ini membantu transaksi neraca berjalan dan membantu menjaga stabilitas rupiah.

“Kondisi ini memberikan ruang kepada BI menahan Suku Bunga beberapa waktu. Kami perkirakan BI akan menjaga stabilitas dengan mengurangi quantitative easing sebelum menaikkkan bunga,” ujarnya.

Ia memperkirakan BI akan menahan suku bunga pada semester pertama tahun ini di level 3,5%. Namun, suku bunga acuan kemungkinan naik 0,75 bps sepanjang paruh kedua tahun ini ke level 4,25%. 

Reporter: Ashri Fadilla