Pemerintah berencana mengenakan bea materai sebesar Rp 10.000 untuk dokumen elektronik berupa term and conditions (T&C) pada transaksi di platform digital termasuk e-commerce. Kementerian Keuangan menilai kebijakan tersebut tidak akan mengganggu ekosistem ekonomi digital.
"Ada minimum transaksinya, jadi seharusnya tidak mengganggu (ekosistem ekonomi digital)," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (13/6).
Febrio mengatakan kebijakan tersebut belum berlaku pada saat ini sekalipun beleidnya sudah terbit sejak dua tahun silam. Rencana pengenaan bea materai untuk T&C e-commerce tersebut diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Materai.
Dalam pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa bea materai dikenakan untuk dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5 juta. Baik sebagai penerimaan uang atau berisi pengakuan utang.
Febrio menilai pengenaan bea materai tersebut hal yang wajar karena berlaku untuk transaksi besar dengan nilai di atas Rp 5 juta. "Kalau yang ingin kita lihat formalitasnya, kalau transaksi makin besar, ya wajar dong untuk bayar materai," kata dia.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor dalam keterangan terpisah mengatakan, pengenaan bea materai untuk dokumen T&C e-commerce bertujuan untuk menciptakan level of playing fields atau kesetaraan dalam berusaha bagi para pelaku usaha digital dan konvensional. Adapun T&C merupakan bentuk klausa baru yang diciptakan untuk melindungi hak dan kewajiban pengguna platform.
"Mengenai potensi dan resiko atas pengenaan Bea Materai juga telah menjadi pertimbangan DJP dalam meluncurkan ketentuan ini," kata Neil dalam keterangannya.
Adapun, sampai saat ini Direktorat Jenderal Pajak bersama dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (IDEA) masih terus berdiskusi untuk menentukan mekanisme pemateraian atas T&C tersebut. Ini bertujuan memetakan T&C mana yang memenuhi persyaratan sebagai dokumen perjanjian yang terutang bea meterai.
Berdasarkan riset Kredivo dan Katadata Insights Center, generasi milenial atau yang berumur 26-35 tahun menjadi penyumbang terbesar terhadap proporsi jumlah transaksi belanja online selama pandemi Covid-19. Berikut grafik Databoks: