Kementerian Keuangan menurunkan pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit dan turunanya menjadi 0% yang berlaku hingga akhir Agustus. Kebijakan ini bertujuan untuk mempercepat ekspor komoditas tersebut yang sempat terhambat saat kebijakan larangan ekspor bulan Mei lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut perubahan tarif tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 tahun 2022. Perubahan tarif ini berlaku sejak tanggal diundangkan 15 Juli hingga akhir bulan depan.
"Hingga 31 Agustus 2022, pungutan ekspor diturunkan menjadi 0 dolar kepada seluruh produk yang berhubungan dengan kelapa sawit," kata Sri Mulyani kepada wartawan di Nusa Dua, Bali, Sabtu (16/7).
Namun, insentif keringanan tarif tersebut akan dicabut mulai September. Tarif pungutan ekspor akan kembali menjadi progresif mengikuti harga mulai 1 September. Artinya, jika harga produk kelapa sawitnya rendah, maka besaran tarifnya juga akan rendah. Sri Mulyani tidak merinci berapa pengenaan tarif progresif yang berlaku mulai September mendatang.
Pemberlakuan tarif progresif setelah sebulan lebih diberikan tarif 0% bertujuan agar program dukungan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bisa kembali normal.
"Ini dengan tujuan bahwa kita melalui BPDPKS bisa mendapatkan pendanaan untuk kemudian memberikan program stabilitas harga seperti melalui biodiesel dan juga stabilitas harga minyak goreng," kata dia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, pemberian fasilitas tarif 0% tersebut untuk mempercepat ekspor. Hal ini mengkompensasi pelarangan ekspor yang diberlakukan hampir sebulan penuh pada Mei demi menekan harga minyak goreng.
"Sebetulnya kemarin kan sudah jalan juga ya, kita sudah dapat ekspornya kan tinggi sekali di Juni kemarin kan sudah bagus, tapi kita melihat masih perlu lebih cepat lagi," kata Febrio dalam acara yang sama dengan Sri Mulyani.
Pungutan ekspor kelapa sawit ini dihitung sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penurunan tarif tentu akan berpengaruh ke penerimaan negara. Namun Febrio masih optimistis dampaknya tidak signifikan ke penerimaan negara.
Ia juga menyebut, kebijakan yang diambil pemerintah tentu tidak selalu bertujuan untuk mengerek penerimaan negara. Dalam konteks penurunan tarif tersebut, pemerintah melihat target menstabilkan supply dan demand lebih penting.
"Penerimaan negaranya sebenarnya tidak akan berdampak terlalu besar, penerimaan negara kita juga sudha tumbuh di atas 40% secara tahunan, jaid kita masih aman," kata dia.