Kenaikan Harga BBM, Sri Mulyani Pertimbangkan Daya Beli Orang Miskin

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan, penyaluran subsidi selama yang selama ini tidak tepat sasaran. Dana subsidi ratusan triliun yang seharusnya dinikmati masyarakat menengah bawah justru diserap masyarakat menengah atas.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
23/8/2022, 18.50 WIB

Pemerintah masih menimbang, antara  menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi atau menambah alokasi subsidi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, salah satu pertimbangan kebijakan BBM ini adalah daya beli masyarakat miskin.

"Kalau terjadi kenaikan harga BBM kan semua masyarakat kena. Namun, daya belinya beda-beda, yang memiliki  daya beli rendah rasanya akan jauh lebih berat," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kompleks Parlemen, Selasa (23/8).

Rencana kenaikan harga ini bergulir di tengah realisasi pertumbuhan ekonomi yang impresif. Ekonomi Indonesia pada kuartal II tumbuh mencapai 5,44% secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya 5,01%.

Meski ekonomi Indonesia tumbuh cukup baik, Sri Mulyani mengingkatkan, pertumbuhan ekonomi kemungkinan lebih banyak ditopang konsumsi masyarakat kelas menengah atas. Sementara konsumsi masyarakat menengah bawah belum terkerek. 

"Ini yang harus kita lihat, setiap kenaikan akan memberikan dampak ke segmen masyarakat yang mana dan apakah kita punya instrumen untuk meminimalkannya (dampak negatif)," kata Sri Mulyani.

Ia juga menekankan, penyaluran subsidi selama yang selama ini tidak tepat sasaran. Dana subsidi ratusan triliun yang seharusnya dinikmati masyarakat menengah bawah justru diserap masyarakat menengah atas. 

Dalam data Susenas 2020, konsumsi Pertalite oleh 10% masyarakat terkaya di Indonesia mencapai 5,27 juta kilo liter. Konsumsi tersebut berkali lipat lebih besar dibandingkan oleh 10% termiskin yang menyedot hanya 560 ribu kilo liter.

"Jadi harus memilih dan mencari supaya 40% terbawah yang harus jadi fokus utama kita bisa ditolong," kata Sri Mulyani.

Selain daya beli dan pemulihan ekonomi, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah juga melihat kapasitas Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mengambil kebijakan BBM. Menurut Sri Mulyani, butuh anggaran Rp 198 triliun jika pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Ini dengan asumsi kuota BBM jenis Pertalite dinaikkan menjadi 29 juta kilo liter dari aloaksi awal 23 juta kilo liter.

Dengan asumsi tersebut, pagu anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini bisa bergerak dari Rp 502,4 triliun menjadi Rp 700 triliun.  "Pasti nanti kalau (tambahan) ini tidak bisa kita bayar, akan meluncur ke 2023. Tahun depan, kita ada Pemilu dan segala macam, makanya kita harus melihat secara teliti," kata Sri Mulyani.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyebut kenaikan harga BBM jenis subsidi, khususnya pertalite dan solar akan menggerus pertumbuhan ekonomi. Hitung-hitungannya, kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter akan menggerus pertumbuhan ekonomi 0,17% dan mengerek inflasi 0,83%. Sementara kenaikan solar menjadi Rp 8.500 akan mengoreksi pertumbuhan ekonomi 0,07 poin persentase dan mengerek inflasi 0,33 poin.

"Dampak dari kenaikan diperkirakan tidak hanya akan memiliki dampak putara pertama pada inflasi harga diatur pemerintah, tetapi juga dampak putaran keduanya untuk barang lainnya dan jasa di saming bahan bakar dan transportasi," kata Faisal dalam risetnya.

Ia menyebut inflasi headline pada akhir tahun diperkirakan meningkat signifikan menjadi 6% dari perkiraan awal 4,6%.

Reporter: Abdul Azis Said