Sri Mulyani Waswas Fed Tetap Agresif karena Inflasi AS Masih Tinggi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pengetatan moneter di AS akan mempengaruhi tiga indikator asumsi makro dalam rancangaan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun depan, yakni asumsi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
14/9/2022, 15.48 WIB

Inflasi di Amerika Serikat pada Agustus melambat ke 8,3% secara tahunan dari bulan sebelumnya 8,5%, tetapi masih di atas ekspektasi pasar. Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai inflasi tinggi yang masih bertahan di AS itu akan mendorong berlanjutnya siklus pengetatan moneter di negeri Paman Sam.

"Kami baru saja tadi malam melihat angka inflasi di AS sebesar 8,3% secara tahunan yang menyebabkan reaksi negatif karena bukan hanya level headline-nya yang 8,3% tetapi juga inflasi intinya naik, ini berarti implikasinya The Fed akan semakin hawkish dalam kebijakan moneternya," kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, Rabu (14/9).

Dinamika pengetatan moneter di AS akan memberi dampak terhadap pasar keuangan dan makro ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sri Mulyani menjelaskan, pengetatan moneter di AS akan mempengaruhi tiga indikator asumsi makro dalam rancangaan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun depan, yakni asumsi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar.

Apalagi, menurut dia, kenaikan suku bunga global ke depannya juga akan semakin tinggi dan lebih cepat dari perkiraan. Pertumbuhan ekonomi tahun depan dipatotok 5,3%, dengan asumsi situasi ekonomi dunia tidak memburuk karena pengetatan moneter maupun imbas geopolitik.

"Tentu perlu untuk terus diamati dan antisipasi kalau guncangan global bergerak ke arah sangat tidak bisa ditebak," tambah Sri Mulyani.

Data inflasi AS yang dirilis semalam menunjukkan kenaikan 0,1% secara bulanan, meski secara tahunan terpantau sedikit turun ke 8,3% dari bulan sebelumnya 8,5%. Realisasi ini di atas perkiraan Dow Jones, indeks harga konsumen (IHK) yang diramal deflasi 0,1% secara bulanan dan inflasi tahunan turun ke 8%.

Inflasi inti yang tidak menghitung harga energi dan pangan naik secara bulanan 0,6% dan secara tahunan 6,3%. Ini juga di atas ekspektasi pasar bahwa inflasi inti hanya 0,3% secara bulanan dan 6% secara tahunan.

Inflasi yang di atas ekspektasi ini mendorong pasar semakin yakin kenaikan suku bunga jumbo 75 bps kembali akan diambil The Fed pada pertemuan pekan depan. Komentar sejumlah pejabat The Fed beberapa waktu terakhir juga menegaskan komitmennya membawa inflasi turun hingga target 2%.

"Kesimpulan dasar untuk konsumen dan bisnis adalah bahwa suku bunga telah meningkat dan kemungkinan besar akan jauh lebih tinggi dari sini (kenaikan 75 bps), ” kata Ekonomi Senior Bankrate Mark Hamrick dikutip dari CNBC Internasional.

Reporter: Abdul Azis Said